OPINI: Memahami Dimensi Filosofis Profesi Kedokteran

Oleh: Dr. dr. Ampera Matippanna, MH 

TENTUNYA tidak ada orang yang akan membantah pernyataan yang menyatakan bahwa  bahwa dokter adalah sebuah profesi yang sangat mulia (officium nobile). Mulianya profesi kedokteran berhubungan dengan pelaksanaan  tugas profesi  yang selalu mengedepankankan pertimbangan keselamatan pasien  sebagai prioritas utama[1]. Hal tersebut dilandasi oleh suatu asas  atau pemikiran yang dianut dalam pelayanan kesehatan yaitu asas agroti Salus Lex Suprema.   Dalam kondisi keadaan kesehatan pasien yang membutuhkan pelayanan kedokteran yang bersifat  segera atau tidak dapat ditunda, maka tentunya seorang dokter harus memberikan pertolongan untuk mencegah terjadinya  kematian pasien atau mencegah terjadinya kerusakan organ atau jaringan yang bersifat permanen yang dapat mempengaruhi kualitas kehidupan pasien yang bersangkutan.

Secara filosifis profesi kedokteran   bertumpu pada sebuah ide yang bersifat fundamental yaitu kemanusiaan  sebagai subyek dan sekaligus sebagai obyek dalam praktek kedokteran. Kemanusiaan sebagai subyek adalah para dokter  sebagai pelaksana praktek kedokteran, sedangkan kemanusiaan sebagai obyek adalah pasien sebagai penerima pelayanan kedokteran. Bahwa aspek kemanusiaan yang ada dalam diri dokter dan pasien  tidaklah berbeda satu dengan yang lainnya . Mereka adalah sama sebagai manusia ciptaan Tuhan, sehingga pada tempatnyalah jika mereka saling menghargai, mengasihi, menolong, dan melayani.  Hipocrates mengatakan bahwa bila ada cinta terhadap sesama manusia, juga ada cinta terhadap pekerjaan dokter. Nothnagel mengatakan bahwa hanya orang baik yang dapat menjadi seorang dokter yang baik. Seorang dokter  tidak selalu dapat menyembuhkan seorang penderita penyakit, tetapi selalu dapat menolongnya, bila ada kemauan untuk itu

Pelaksanaan profesi kedokteran sebagai upaya kemanusiaan untuk  menolong pasien menghilangkan penderitaan, menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan pasien,  agar dapat kembali beraktivitas dan bekerja dengan produktif untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, tidak terlepas dari pandangan etika dan moral yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang dapat dipandang sebagai jiwa masyarakat. Pelaksanaan profesi kedokteran yang menyimpang dari prinsip etik dan moral dapat dianggap sebagai tindakan yang mencedarai jiwa masyarakat, sehingga pelayanan kedokteran tersebut dianggap sebagai pelayanan yang tidak profesional, tidak berkualitas dan tidak manusiawi. Setidaknya dikenal ada 4 (empat) prinsip etika moral utama dalam profesi kedokteran, yaitu:

Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak otonomi pasien (the rights to self determination),

Prinsip beneficience, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke kebaikan pasien;

Prinsip non maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non
nocere”
atau “above all do no harm”;

Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam mendistribusikan sumberdaya (distributive justice).

Sebagai profesi yang mulia, seorang dokter dalam melaksanakan praktek kedokterannya   terikat dengan sumpah kedokteran  sebagai landasan filosofisnya yang menjadi ikrar suci atas nama Tuhan untuk membaktikan kehidupannya untuk kepentingan perikemanusiaan, menjalankan tugas profesi  dengan cara yang terhormat dan bersusila, sesuai dengan martabat profesi kedokteran, memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran,   merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya karena pekerjaan dan keilmuannya sebagai dokter , senantiasa mengutamakan kesehatan pasien dan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya supaya  tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik Kepartaian, atau kedudukan sosial, dalam menunaikan kewajibannya terhadap penderita.

Sumpah  dokter bukanlah sekedar janji atau ikrar seperi pada umumnya yang diucapkan oleh seseorang untuk sekedar memberikan  keyakinan pada seseorang atau pejabat akan tekadnya untuk melaksanakan suatu tanggung jawab atas tugas yang dipercayakan kepadanya,  tetapi lebih dari itu sumpah dokter adalah  Ikrar suci yang mempertaruhkan  kehidupan seorang dokter untuk  memberikan pertolongan terhadap pasien agar dapat terbebas dari penderitaan karena suatu penyakit, menyembuhkan penyakit, memulihkan kesehatan dan menyelamatkan jiwa pasien. Sumpah dokter mengandung kerelaan untuk berkorban baik secara fisik, psikis dan financial  demi kepentingan kesehatan pasien, melayani dan menangani pasien dengan sepenuh hati tanpa membeda-bedakan pasien, jenis penyakitnya  dan kemampuan pasien untuk membayar upah dokter.  Axel Martin Fredrik Munthe (1857-1949) adalah seorang dokter kelahiran Swedia pernah menyatakan sebuah quote yang berbunyi “You cannot be a good doctor without pity” (Kamu tidak bisa menjadi dokter yang baik tanpa belas kasihan). Sasha Zarins dan Sara Konrath mengatakan bahwa “berbelas kasih (compassion) merupakan suatu kesadaran akan penderitaan dan rasa sakit orang lain dan berupaya untuk meringankan penderitaan dan rasa sakit tersebut. Sedangkan Karen Amstrong (2013) dalam bukunya “Compassion” menyatakan, “Berbelas kasih (compassion) adalah menanggungkan bersama orang lain, menempatkan diri kita dalam posisi orang lain, untuk merasakan penderitaannya seolah-olah itu adalah penderitaan kita sendiri dan secara murah hati masuk ke dalam sudut pandangnya. Sikap belas kasihan ( compassion) merupakan sebuah kewajiban moral yang harus dilakukan oleh seorang dokter dalam menjalankan praktek kedokterannya, dan secara tulus ikhlas mempergunakan segala ilmu dan keterampilan untuk kepentingan pasien.

Dengan kata lain bahwa seorang dokter dalam menjalankan tugas profesinya tidak menjadikan upah atau jasa sebagai prioritas dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap pasien.

Meskipun para dokter telah  mengucapkan sumpah sucinya atas nama Tuhan, namun dalam perjalanan pengabdiannya masih sering dijumpai adanya pelaksanaan praktek kedokteran yang menyimpang dari landasan filosofis profesi kedokteran itu sendiri, sehingga mereka dianggap melakukan mal praktek yang merugikan kepentingan pasien.  Perbuatan menyimpang tersebut disebabkan oleh karena adanya dorongan atau hasrat ( sikap bathin) untuk melakukan suatu perbuatan yang buruk atau tidak wajar, yang bertentangan dengan sesuatu yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan, hal mana perbuatan tersebut dilakukan secara sadar untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan merugikan kepentingan pasien.   Veronica dalam Anny Isfandyarie (2005:2)  menyatakan bahwa istilah malparaktek berasal dari “malpractice” yang pada hakekatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh dokter.  Kewajiban-kewajiban tersebut dapat berupa kewajiban etik dan moral yang diatur dalam kode etik profesi dan kewajiban hukum yang diatur dalam ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, maka tidak dapat tidak, penggunaan obat-obatan, peralatan medis dan pembiayaan kesehatanpun turut terpicu mengalami peningkatan sesuai dengan kebutuhan atau kepentingan pasien untuk mendapatkan pelayanan kedokteran yang berkualitas.  Hal tersebut berpotensi  meruntuhkan pertahanan etik dan moral seorang dokter dan mengingkari pandangan filosis dokter sebagai sosok yang berperan penting dalam upaya meringankan penderitaan, menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan demi kepentingan  kemanusiaan. Mereka terjebak dalam pusaran ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran  mutakhir untuk memanfaatkannya dengan  alasan indikasi medis atau demi kepentingan pasien  dan sering kali mengabaikan aspek sosial dan ekonomi pasien. Penggunaan obat-obat paten yang mahal , permintaan pemeriksaan penunjang diagnostik dengan teknologi  mutakhir  atau tindakan medis operatif dengan peralatan medis mutakhir disatu sisi akan menunjang keberhasilan penanganan kesehatan pasien, tetapi disisi lainnya berimplikasi meningkatnya pembiayaan  kesehatan yang harus ditanggung oleh pasien. dan  meningkatnya  jasa pelayanan  dokter  atau pendapatan rumah sakit.

Tentunya kondisi seperti ini  tidak dapat digeneralisir sebagai sebuah kebenaran umum. Masih  sangat banyak diantara kalangan dokter  yang tetap berpegang teguh terhadap landasan filosofis profesi kedokteran sebagai mana sumpah dokter yang telah mereka ikrarkan. Mereka tetap setia membaktikan hidupnya untuk kemanusiaan dan melaksanaka kedokterannya dengan cara yang bermartabat , bersusila sesuai dengan nilai luhur profesi kedokteran dalam upayanya untuk mdenghilangkan penderitaan karena penyakit , menyembuh penyakit dan memulihkan kesehatan pasien tanpa dipengaruhi oleh pertimbangan jasa pelayanan yang akan diterimanya. Mereka memberikan pelayanan kesehatan dengan pertimbangan rasional dan holistik terhadap biopsikososial pasien.  Tentunya pelayanan kesehatan dengan  menggunakan ilmu dan teknologi kedokteran mutakhir adalah hal yang wajar sepanjang sesuai dengan indikasi medis dan sesuai dengan kepeningan pasien dan mendapatkan persetujuan pasien. Namun dalam hal ketidak mampuan pasien atau karena penolakan pasien atas penggunaan obat dan peralatan medis mutakhir untuk kepentingan diagnostic dan terapi, dokter yang baik yang memiliki compassion tetap akan memberikan pelayanan kesehatan yang optimal sekalipun dengan pengobatan atau tindakan medis dengan peralatan medis yang sederhana.

Di era ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang berkembang pesat saat ini, menjadi sangat  menarik  apa bila kita menyodorkan sebuah  pertanyaan filosis  terhadap seorang dokter atau mahasiswa kedokteran yaitu , alasan atau  tujuan apa yang ingin dicapai dengan menjadi seorang dokter?. Tentunya sebagain besar bahkan mungkin seratus persen akan menjawab secara spontan bahwa alasan atau  tujuan mereka  menjadi dokterr adalah untuk memberikan pelayanan kedokteran terhadap pasien atas dasar kemanusiaan sesuai dengan sumpah kedokteran yang mereka telah atau yang akan mereka ikrarkan.  Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa  mungkin saja ada alasan ikutan lainnya mengapa seseorang memilih untuk berprofesi sebagai dokter   misalnya untuk meningkatkan perekonomian keluarga dan status sosial dalam masyarakat, namun hal tersebut bukanlah dosa atau sesuatu yang dapat dipersalahkan, sepanjang pelaksanaan profesi kedokteran tersebut tidak mengingkari landasan filosofis profesi kedokteran dan melaksanakannya   secara bermartabat sesuai dengan nilai-nilai luhur tradisi kedokteran.  Mendapatkan upah atau jasa medis adalah hal yang  wajar   sebagai kompensasi atas pengabdiannya dibidang pelayanan kesehatan. Seorang dokter juga adalah manusia yang memiliki kebutuhan hidup untuk diri dan keluarganya untuk hidup layak,  termasuk untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuannya yang kelak digunakan untuk kepentingan pasien, sehingga membutuhkan penghasilan yang layak.

Seorang dokter yang baik adalah dia yang mampu membuat pasien tersenyum bahagia setelah mendapatkan pertolongan dokter ,  bahkan setelah pasien meninggalkan rumah sakit..Seorang dokter hanya akan tersenyum bahagia ketika upayanya berhasil mengatasi persoalan kesehatan pasien tanpa dipengaruhi oleh upah yang  diterimanya., karena baginya  menjadi seorang dokter  adalah sebuah pilihan untuk  menjadi tangan Tuhan  untuk menolong  ummatNya dari penderitaan karena suatu penyakit tertentu. (*)

Komentar