Oleh: Fransiskus Allo
MENGAWALI tulisan ini, ijinkan saya mengajak pembaca menoleh sejarah masa silam Tondok lepongan bulan Tana Matarik Allo Toraya tungka Sanganna. Pada Pertengahan Abad 17 (1675) invasi Kerajaan Bone dibawah Pimpinan Arung Palakka masuk ke Toraja, yang terkenal disebut saat itu” Kasaenna To Bone”. Invasi Pasukan Arung Palakka ini berkolaborasi dengan tokoh pemberani nun sakti setempat bernama Pakila’ Allo dari Randan Batu dengan bekerjasama membuka arena perjudian yang sesungguhnya tidak disukai oleh banyak bangsawan Toraja setempat. Kekuasaan tentara Arung Palakka cepat meluas dan tersebar di Toraja. Para bangsawan dan rakyat mendapatkan tekanan dan intimidasi yang luar biasa. Kekacauan, pencurian, merajalela sebagai efek samping dari arena perjudian yang dilakukan oleh Arung Palakka.
Atas perlakuan Arung Palakka tersebut, muncullah ide untuk melakukan perlawanan secara terbuka yang sangat terkenal dengan gerakan Topada Tindo to misa’ Pangngimpi Untulak Buntunna Bone Ulangda’ sendana bonga, yang di motori oleh Pong Kalua’ dari Randan Batu yang berpura-pura mengawini adik Pakila’ Allo untuk dapat mengikuti Pakila’ Allo dan satu waktu berhasil membunuhnya dengan cara meracuni. Matinya Pakila’ Allo menjadi momentum para bangsawan Toraja menyusun persekutuan bersama untuk melawan Tentara Arung Palakka.
Dalam catatan sejarah Topada Tindo terdapat 122 tokoh pemberani namun dalam versi yang lain terdapat 134 orang. Hal ini dimungkinkan saat perang sementara berjalan ada tambahan pasukan yang bergabung dan beberapa diantaranya berasal dari Simbuang, yaitu Palondongan landi Simbuang,Tolayuk landi Simbuang, Mangopo landi Sima Simbuang, Ponni Padang landi Makkodo Simbuang. Keempat tokoh pemberani dari Simbuang ini menyatukan kekuatan bersama seluruh bangsawan pemberani Lepongan Bulan mengusir tentara Arung Palakka dari Toraja.
Setelah melakukan perlawanan kurang lebih 5 tahun hingga tahun 1680 Pasukan Arung Palakka dapat ditaklukkan dan diusir hingga ke Bamba Puang. Di Bamba Puang terucaplah ikrar Topada Tindo to Misa Pangngimpi yang dikenal dengan Basse Kassale “Tangla kendek penduan pentallun to Bone Ma’takinan La’bo’ ma’tetangan Mataran, Apa mintu’na Mataranna sia pa’benga’na lakendek pasiu’ sando pakengke lalipan, kedenpi tolaullutu tombang lili’na lepongan bulan (orang Bone tidak akan datang keduakalinya memerangi Toraja). Dengan selesainya Basse Kasalle maka kekacauan tondok lepongan bulan berakhir “Manda’mi Sallina Lepongan Bulan,Bintinmi gontingna babanganna Tana Matarik Allo (pintu Tondok lepongan bulan tertutup rapat dari gangguan luar).
Setelah membawa pembaca pada sejarah abad 16-17 dimana Indonesia belum merdeka atau belum terbentuk, mari melompat ke sejarah Toraja pasca Kemerdekaan 1945, merujuk pada buku berjudul “Komandan Frans Karangan”yang ditulis oleh Sili Suli, terbaca dengan jelas bagaiman peran Simbuang lewat Organisasi Pagar Desa (OPD) dari simbuang yang dibentuk dan dilatih Pasukan Frans Karangan kala itu pasca peristiwa Makale 1953 dimana pasukan Kompi II dibawah komando Frans Karangan berhasil mengusir tentara Kapten Andi’ Sose’ yang adalah Komandan batalyonnya sendiri, yakni batalyon 720 di Makale yang disebabkan oleh tindakan kesewenang-wenangan Andi Sose’ dimana tentara batalyon 720 pimpinan Andi Sose’ nyata-nyata membuat masyarakat mengalami penindasan dan penderitaan.
Setelah Kapten Andi Sose’ dan empat Kompi Batalyon 720 hengkang dari Tana Toraja, Kompi Frans Karangan masih tetap bermarkas di Rantepao sebagai bagian dari formasi Batalyon 713 Pancawati namun statusnya berdiri sendiri. Tugas utama Kompi Frans Karangan adalah mengamankan perbatasan Endrekang, Pinrang, dan Luwu dari gangguan gerombolan DI/TII. Tugas kedua adalah membentuk Organisasi Pertahanan Rakyat (OPR) di setiap distrik. Setiap utusan dari Distrik-distrik (Kecamatan) harus melatih lagi 20 orang di tiap-tiap desa, sehingg setiap desa kalah itu memilik 120 anggota Organisasi Pagar Desa.
Pada tanggal 20 Mei 1958 Batalyon Brawijaya(Tentara Jawa) yang ditugaskan di Tana Toraja ditarik keluar untuk mengahadapi PERMESTA dan digantikan oleh Gabungan Pasukan Komando Daerah Milter Sulawesi Selatan dan Tenggara (KDM-SST) yang ternyata kedatangannya terutama Resimen Infanteri 23 (RI 23) ditunggangi oleh politik balas dendam dan adu domba terutama kelompok tertentu yang ingin melakukan balas dendam atas peristiwa 1953 di Makale. Keinginan masyarakat Toraja lewat perjuangan para elit politik lokalnya serta partai politik yang ada di Toraja saat itu, PNI, Masyumi, Partai Katolik, PSIL, PKI, PRN, Parkindo, dan Legium Veteran” agar mempertahankan pasukan Brawijaya sebelum ada pasukan pengganti yang netral tidak tercapai, disisi yang lain Kompi R Frans Karangan sedang berada di Palu untuk operasi penumpasan Permesta.
Kekhwatiran akan kehadiran kembali pasukan Andi Sose untuk balas dendam benar-benar terjadi. Pada tanggal 15 mei 1958, pasukan Batalyon Detasemen A masuk ke warung-warung dan pinggir Pasar di Makale dan melakukan intimidasi kepada masyarakat. Siapa yang tidak mau menerima pasukan Andi Sose’ segera kesini, mana dia? Ini bagiannya! Intimidasi yang sama dilakukan di Rantepao dan berpuncak di Makale tanggal 19 Mei tepat pada hari Pasar dimana pasukan Detasemen A mengeluarkan serentetan tembakan yang membuat warga panik dan berlarian menyelamatkan diri.
Beruntunglah bahwa antisipasi sudah dipersiapkan pasukan-pasukan elit Frans Karangan yang tergabung dalm Batalyon R yang dikirim dari Palu dibawah komando Pappang dengan alasan cuti. Mereka kemudian membentuk Komando Barisan Rakyat (KO.BN.R) yang bermarkas di Tongkonan Penanian, dimana salah satu unsur pasukan di dalamnya adalah OPD, (Organisasi Pagar Desa).
Dalam catatan sejarah kala itu, Simbuang mengirimkan pasukan OPD-nya tergabung bersama OPD Buakayu dalam Kompi VIII struktur Komando Barisan Rakyat yang dipimipin Ambe’ Banni. Perlu juga diketahui bahwa jumlah pasukan OPD Simbuang yang terkenal dengan Pasukan Batta’ Badi’ kala itu berjumlah 142 orang yang dipimpin D Eppang (Buku Sili Suli “Komandan Frans Karangan” halaman 216, 2041). Singkat cerita Pasukan inilah (KO.BN.R) yang didalamnya tergabung OPD Simbuang melakukan perlawanan sengit untuk melawan tentara Andi Sose’ yang menunggangi Batalyon KDM-SST untuk melakukan balas dendam dan penindasan terhadap masyarakat Toraja, dimana dalam pertempuran yang sengit itu banyak dari OPD Simbuang yang menjadi korban luka maupun meninggal dunia. Tanggal 7 Juli 1958, seluruh pasukan gabungan KDM-SST yang membuat badai dan kekacauan di Toraja akhirnya dapat dihalau dari Tana Matarik Allo tondok Lepongan Bulan.
Apa yang ingin disampaikan dari dua fakta sejarah dalam kurun waktu yang berbeda di atas? Sebenarnya sangat jelas dan terang benderang, peran Simbuang dan Mappak yang kala itu masih tergabung satu bernama Simbuang sungguh besar dalam sejarah Toraja, Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo. Mereka telah berjuang dengan gigih mempertahankan Toraja atas invasi dari luar. Mereka adalah bagian dari sejarah Topada Tindo yang mengusir dan menghalau tentara Arung Palakka demi memimpi Toraja bebas dari penjajahan dan penindasan. Mereka adalah bagian dari pelaku sejarah yang mengusir para penindas “tentara Andi Sose’“ yang menindas, menghina, dan membuat masyarakat Toraja menderita. Mereka menyumbangkan pasukan-pasukan pemberani. Mereka menghalau badai kekacauan, penindasan, dan penghinaan terhadap masyarakat Toraja. Mereka telah berkorban demi sebuah mimpi yang satu dan sama (Topada Tindo) untuk Toraja yang bebas dari penindasan, penghinaan, dan penjajahan yang muaranya adalah kedamaian dan kesejahteran bersama. Itulah sejatinya mimpi yang diperjuangkan.
Namun waktu berlalu, tahun berganti, mimipi para pemberani Simbuang itu seperti ditelan bumi. Mereka seakan terlupakan (Simbuang Mappak dipasalian Rinding dipaleko’na Manangnga) itulah kalimat yang tepat menggambarkan situasi Simbuang Mappak saat ini. Memasuki abad 21 dan 78 tahun Indonesia Merdeka dan menyongsong HUT 66 Tahun Kabupaten Tana Toraja, 776 tahun Toraja, ketika saudara-saudarinya dalam wilayah lepongan bulan telah mengalami perubahan dan kesejahteraan yang begitu pesat, mereka “Simbuang Mappak” dibiarkan tertatih-tatih sendirian, berjalan ditempat terhuyung-huyung tanpa ada yang menyapa. Syukurlah ada seorang bernama Tarsis Kodrat yang bukan putera Toraja pernah diutus Tuhan memimpin Toraja memberikan sedikit harapan bagi Simbuang-Mappak sehingga kala itu untuk pertama kalinya kendaraan penumpang roda empat masuk ke Mappak dari arah Polewali. Tak sampai disitu Tarsis Kodrat memberikan secercah sinar dimalam hari dengan membangun listrik bertenaga air yang konon kabarnya masih menjadi tumpuan penerangan listrik malam hari dibeberaba dusun hingga hari ini. Setelah era Tarsis Kodrat pemimpin Toraja silih berganti, tidak ada yang benar-benar peduli.
Program pembangunan infrstruktur jalan ke Simbuang yang nilainya setiap tahun dari anggaran APBD Tana Toraja jumlahnya sangat kecil, bahkan terkesan hanya proyek banjakan APBD semata, dibuat asal-asalan tanpa ada perencanaan yang matang serta tanpa pengawasan ketat, “yang penting ada”. Maka tidak mengherankan hancur sebelum diresmikan, yang penting anggaranya sudah cair ke rekening kontraktor .
Mungkin di atas sana para pejuang topada tindo dan pasukan pemberani dari Simbuang sedang menangis melihat nasib anak cucunya yang diperlakukan tidak adil oleh saudaranya sendiri, tetapi kita yakin dan percaya mereka tidak akan perna menyesali perjuangan mereka. Mereka akan selalu bangga akan hal itu. Harapan dan asa masih ada dan tidak akan berhenti. Darah para martir pejuang dari Simbuang Mappak akan selalu ada menuntut mimpi yang satu dan sama yakni kedamaian, kebebasan, dan kesejahteraan bersama.
Berlaku adillah para penguasa dan pengambil kebijakan lepongan bulan, ingatlah bahwa leluhur kita dahulu telah berikrar dalam janji dan mimpi yang sama (Topada Tindo) untuk Toraja yang bebas, damai demi sejahtera bersama. Terlau besar resikonya menghianati ikarar itu. Kutukan para leluhur semoga menjauh, namun yakinlah tidak akan terhindari ketika terus menerus diabaikan. Demi mimpi leluhur yang satu dan sama berlaku adillah pada mereka masyarakat Simbuang Mappak. Demi mimpi leluhur yang satu dan sama, berhentilah melakukan eksploitasi dan pembodohan terhadap masyarakat Simbuang Mappak. Demi mimpi leluhur yang satu dan sama, berhentilah memberi janji-janji manis pada mereka apalagi saat ada momentum politik di depan mata.
Kepada masyarakat Simbuang-Mappak, terlebih khusus generasi mudanya, kalian adalah keturunan para pemberani. Mereka, para leluhurmu, telah menciptakan sejarah. Banggalah akan hal itu. Jangan mempermalukan mereka dengan menjual saudaramu sendiri demi kepentingan perut sesaat saat momentum politik tiba. Berhentilah menjadi penjilat kekuasaan, tegakkan kepalamu dan jangan menyerah. Terusla berjuang untuk kampung halamanmu karena engkau adalah keturunan dari para pemberani. Kalian yang telah suskses di rantau, ingatlah kampung leluhurmu, jangan pernah melupakannya. Kembalilah dan bangun kampungmu karena hanya ditangan kalianlah perubahan yang dinanti akan terwujud. Kalian yang telah diberi mandat oleh negara untuk mengurus masyarakat dan kampung halaman, para aparat lembang, Guru, PNS, lakukanlah tugas mulia itu dengan sepenuh hati dan segenap jiwa raga, jangan sampai sebagian besar waktumu tidur dikontrakan kota Makale dan Rantepao dan berkeliaran di tempat hiburan saat malam tiba. Kalian yang terpilih menjadi wakil rakyat, jadilah penyambung lidah mereka jangan hanya duduk diam seribu bahasa, berbenahlah dan berubahlah, bersatulah, seiya sekatalah dalam perjuangan karena hanya itulah jalan keluar, tanpa itu malaikat dari langit ketujupun tak akan bisa berbuat apa-apa. Simbuang Mappak terus menanti wujud nyata dari mimpi-mimpi leluhur mereka yakni kemerdekaan (bebas dari pembodohan, kebodohan, dan kemiskinan). Kapan itu akan terjadi? Hanya waktu yang akan menjawabnya!.
Makale 16 Agustus 2023
*Fransiskus Allo (Pemerhati masyarakat Simbuang-Mappak)
Komentar