OPINI : Biosentrisme dan Falsafah Tallu Lolona

Muhammad Taufik Parende Anggota Forum Mahasiswa Toraja (Format) Makassar, dan Journalist Network For Environmental Advocacy (JURnal Celebes). (foto: dok. pribadi).

 


Oleh : Muhammad Taufik Parende*

Bencana ekologi yang terjadi beberapa bulan terakhir telah memakan banyak korban, kerusakan fasilitas umum, fasilitas sosial, gagal panen, rusaknya rumah warga, hingga meninggal dunia. Banjir dan longsor telah menjadi informasi utama di beberapa laman media dalam beberapa bulan terakhir. Bencana Ekologi yang terjadi, tidak terlepas dari menurunnya daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Pandemi Covid-19 yang mengakibatkan banyak kematian di berbagai negara termasuk Indonesia tidak terlepas dari kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh ulah manusia. Krisis Iklim disebut sebagai salah satu faktornya.

Perusakan hutan akibat aktivitas pertambangan dan perkebunan monokultur, rusaknya ekosistem laut akibat tambang pasir dan buangan limbah industri, penggunaan bahan bakar fosil, eksploitasi alam untuk pembangkit listrik geothermal dan beberapa aktivitas industri yang mengekstraksi sumber daya alam merupakan aktivitas yang terus memperparah terjadinya krisis iklim.

Beberapa kejadian di atas mengingatkan kita bahwa eksploitasi sumber daya alam merupakan aktivitas yang mengancam kehidupan kita dan generasi selanjutnya, Bencana ekologi dan Covid-19 menjadi contohnya. penggunaan teknologi pun tidak bisa menahannya, maka mengembalikan alam ke sifat alaminya menjadi satu keharusan. Alam dan segala keanekaragaman hayatinya saling berinteraksi dan mampu menyeimbangkan keadaanya.

Maka, hidup harmonis dan selaras dengan alam menjadi pilihan, menyadari bahwa makhluk hidup bukan hanya manusia saja. Konsep Biosentrisme dan Falsafah Tallu Lolona dalam manusia Toraja bisa menjadi rujukan dalam melihat bagaimana hubungan manusia dan alam.


Biosentrisme dan Falsafah Tallu Lolona

Biosentrisme adalah sebuah keyakinan bahwa manusia adalah bagian dari alam: satu spesies di antara banyak spesies lainnya dan kehidupan adalah sesuatu yang bernilai. Judi Bari dalam bukunya “Ekologi Revolusioner” menyebutkan, biosentrisme bukan sekedar teori, biosentrisme adalah hukum alam yang hadir secara independen. Ia tidak diciptakan oleh Dave Foreman dan Arnie Naas. Ia sudah ada sejak zaman purba dalam pepata “Bumi bukan milik kita. Kita adalah bagian dari bumi.” Biosentrisme menekankan pada hubungan harmonis dan hidup selaras dengan alam. Namun gagasan biosentrisme baru dipopulerkan pada tahun 1970 an.

Menjaga hubungan harmonis dengan alam bukanlah sesuatu yang baru. Gagasan Biosentrisme bisa dilihat melalui cara pandang kehidupan masyarakat Toraja dalam Falsafah Tallu Lolona, salah satu falsafah hidup manusia Toraja dalam melihat hubungan antara manusia dan alam.

Baca Juga  Begini Cara KPTS Kampanyekan Stop Bunuh Diri

Falsafah Tallu Lolona adalah Tiga Pucuk Kehidupan yaitu Lolo Tau (Manusia), Lolo Patuoan (Hewan) dan Lolo Tananan (Tumbuhan). Dalam kepercayaan masyarakat Toraja, ketiganya merupakan ciptaan tuhan yang saling berhubungan dan saling melengkapi, mereka meyakini bahwa manusia adalah bagian dari alam.

Falsafah tersebut menggambarkan kehidupan masyarakat Toraja antara manusia dan alam adalah satu kesatuan dan hidup dalam keseimbangan, serta menolak sikap superioritas manusia atas alam. Prinsip hidup selaras dan harmoni dengan alam sudah dipraktekkan oleh masyarakat Toraja jauh sebelum Karl Marx dengan teori Marxisme atau Joseph Proudhon dan Bakunin dengan gagasan Anarkismenya muncul.

Masyarakat Toraja sudah menerapkan prinsip-prinsip hidup harmonis dengan alam bersamaan dengan proses terbangunnya peradaban manusia Toraja. Dalam kepercayaan Aluk Todolo hutan adalah kehidupan. Ketika hutan rusak dan habis kehidupan akan punah. Memelihara dan menjaga kelestarian hutan berarti menjaga kelestarian hidup. Masyarakat Toraja percaya bahwa manusia dan alam adalah satu ekosistem utuh yang tidak bisa pisahkan.

Biosentrisme dan Falsafah Tallu Lolona memiliki perspektif yang sama yaitu suatu keyakinan bahwa kehidupan manusia memiliki hubungan harmonis dengan alam. Manusia dan alam merupakan satu komunitas. Semua yang hidup memiliki nilai. Falsafah Tallu Lolona adalah manifestasi dari biosentrisme dalam kearifan lokal dari masyarakat Toraja.

Walaupun gagasan biosentrisme mulai dipopulerkan pada tahun 1970 an, tetapi menurut Judi Bari gagasan ini sangat revolusioner dalam konteks masyarakat industri masa kini.

Falsafah Tallu Lolona dan biosentrisme yang pada prinsipnya menekankan pada hubungan harmonis dengan alam, tidak melakukan eksploitasi terhadap alam, dan tetap menjaga keseimbangan antara alam dan manusianya, serta menentang sifat superioritas manusia terhadap alam dan berkontradiksi dengan Antroposentrisme dan Kapitalisme.

Falsafah Tallu Lolona berkontradiksi dengan Antroposentris

Kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini salah satunya disebabkan oleh pandangan Antroposentris bahwa manusia adalah pusat dan puncak dari segala sesuatu. Bahwa manusia bisa memperlakukan alam sebagai properti yang bisa dimiliki dan dieksploitasi, tanpa menghargai hak- hak makhluk hidup lain atau keseimbangan ekosistem.

Antroposentris yang didasarkan pada pemahaman superioritas manusia atas alam, dan menganggap bahwa alam bisa dimanfaatkan tanpa batas. Dasar inilah kemudian manusia melakukan eksploitasi atas sumber daya alam tanpa henti, yang berakibat pada kerusakan lingkungan yang lebih luas.

Bagaimana mungkin seorang pengusaha memiliki ribuan hektar kawasan ekosistem hutan untuk dijadikan sebagai lokasi pertambangan dan geothermal di Toraja. Hutan yang seharusnya menjadi ruang hidup untuk ratusan bahkan ribuan spesies, serta menjadi daerah penyangga bagi sebagian ekosistem yang hidup di sekitarnya, kemudian dengan mudahnya akan dirusak demi kepentingan modal dan pendapatan daerah.

Baca Juga  Peringati HUT ke-78 dan Hari Guru, PGRI Tana Toraja Gelar Porseni

Pertambangan yang pada prakteknya, bukan hanya mengambil mineral yang terkandung di dalam tanah tetapi juga merusak struktur tanah, tumbuhan dan semua yang hidup di atasnya, begitupun dengan Geothermal, bukan hanya mengekstraksi panas yang ada di dalam perut bumi untuk dijadikan energi listrik tetapi juga melakukan perusakan hutan. pertambangan dan Geothermal bukan hanya merusak hutan dan lingkungan, tetapi merusak kehidupan manusianya.

Pandangan Antroposentris juga dianggap sebagai pemicu dalam kemajuan teknologi yang kemudian dianggap sebagai salah satu solusi untuk masalah lingkungan yang terjadi hari ini. Namun pada faktanya, teknologi menyebabkan eksploitasi sumber daya alam semakin intens. Seperti yang ditulis oleh Fred Magdoff dan John Bellamy Foster dalam Bukunya “Lingkungan hidup dan Kapitalisme” : teknologi bagian dari masalah dan bukan sebagai solusi.

Laju kerusakan lingkungan akibat industri ekstraktif pertambangan dan geothermal adalah bentuk dominasi manusia atas alam. Falsafah Tallu Lolona dan Biosentrisme yang didasarkan pada keseimbangan antara alam dan manusia serta mengkreditkan pandangan bahwa manusia bisa memiliki bumi. Hal tersebut yang membuat Falsafah Tallu Lolona berkontradiksi dengan Antroposentris.

 

Falsafah Tallu Lolona Berkontradiksi dengan Kapitalisme

Kapitalisme yang didasarkan pada kepemilikan pribadi dan akumulasi modal. kepemilikan pribadi merupakan kepemilikan dan kontrol terhadap alat produksi : Seperti pabrik, mesin, tanah dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Menjadikan sumber daya alam sebagai bahan utamanya dan mencuri keuntungan dari para pekerjanya, yang dalam Teori Marxisme disebut sebagai “nilai lebih.”

Sistem kapitalisme merupakan sistem yang hidup di atas eksploitasi sumber daya alam dan manusianya. Lingkungan hidup hanya dilihat sebagai ruang untuk mengakumulasi modal, dan menghiraukan ekosistem yang hidup didalamnya serta fungsi sosial dari ruang tersebut.

Dalam produksinya, kapitalisme membutuhkan bahan yang dihasilkan dari alam. sebagai contohnya, untuk menghasilkan kendaraan listrik yang diklaim sebagai ramah lingkungan, harus merusak hutan dan membongkar tanah terlebih dahulu di desa-desa untuk mendapatkan nikel, yang menjadi salah satu bahan utamanya, selanjutnya nikel hasil tambang tersebut dikirim smelter untuk dilakukan peleburan seperti di Kawasan Industri Morowali (IMIP) yang beberapa tahun terakhir menelan banyak korban akibat kecelakan kerja, atau Kawasan Industri Weda Bay di Halmahera (IWIP), Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) di Bantaeng, atau yang lebih dekatnya Smelter Bumi Mineral Sulawesi di Kabupaten Luwu.

Baca Juga  Siswa SD Kelas Jauh di Awan Rantekarua Ini Hanya Diajar Dua Guru Honor

Selanjutnya, bahan-bahan tersebut dikirim lagi ke beberapa perusahaan untuk dilakukan pengolahan selanjutnya yang nantinya akan menjadi kendaraan listrik. Namun, untuk membantu mesin-mesin tersebut beroperasi dan terus berproduksi maka dibutuhkan energi listrik sebagai penggeraknya. Untuk menghasilkan energi listrik ini, harus kembali melakukan ekstraksi sumber daya alam.

Misalnya, untuk menghasilkan energi listrik Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) harus membutuhkan batu bara sebagai bahan bakarnya yang dihasilkan dari membongkar hutan kalimantan terlebih dahulu, atau dengan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang mengancam ekosistem hutan Buntu Karua dan keselamatan warga di Lembang Balla, Kecamatan Bittuang, Tana Toraja atau bahkan PLTP yang dikelola oleh PT. Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) di Mandailing Natal, Sumatera Utara, yang membuat 5 orang meninggal dunia akibat menghirup gas beracun, yang menurut pemerintah Indonesia dan negara-negara yang tergabung dalam International Partners Group (IPG) sebagai “Energi Baru Terbarukan” dan juga bagian dari dekarbonisasi.

Namun, apapun nama dan bentuknya pada dasarnya melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam. Menghisap alam dan manusianya, serta didasarkan pada akumulasi modal. Kapitalisme melakukan transformasi dalam berbagai bentuk dan wujud demi membuat mesin produksinya tetap berproduksi, bahkan dengan istilah yang ramah lingkungan : kesepakatan baru yang ramah lingkungan atau “Green New Deal.” Sehingga menurut Judi Bari: Sistem ini tidak bisa direformasi, sebab ia didirikan diatas kerusakan bumi dan eksploitasi manusia. Tidak ada namanya kapitalisme hijau.

Eksploitasi terhadap sumber daya alam dilakukan hanya untuk melipatgandakan keuntungan atau Profit dan bukan didasarkan pada kebutuhan dasar. Profit artinya mengambil lebih banyak dari pada yang dikembalikan dan didirikan atas kerusakan bumi maka, kapitalisme berkontradiksi dengan Falsafah Tallu Lolona.

Masyarakat Toraja dalam prakteknya, terutama dalam memanfaatkan alam dalam ritual adat atau membangun rumah tongkonan misalnya, masyarakat tetap memperhatikan kaidah keseimbangan dan penghargaan terhadap alam, contohnya, ketika menebang satu pohon, maka harus menanam kembali 10 pohon. Konsep menanam lebih banyak dari yang di tebang adalah bentuk menjaga kelestarian, keberlanjutan dan kesimbangan terhadap alam. Bahkan jauh dari itu merupakan penghormatan dan penghargaan terhadap alam dan semua yang hidup didalamnya. Eksploitasi alam untuk pertambangan dan Geothermal di Toraja melanggar prinsip Falsafah Tallu Lolona.

*Muhammad Taufik Parende.
Anggota Forum Mahasiswa Toraja (Format) Makassar, dan Journalist Network For Environmental Advocacy (JURnal Celebes)

Komentar