“TORAJA TETAP TORAJA”, Dialog Awal Tahun Pertemukan Pemerintah dan Tokoh Agama

SELASA, 4 Januari 2022, bertempat di Pusat Ziarah Sa’pak Bayobayo, Sangalla’, Tana Toraja, diadakan Dialog Awal Tahun dengan tema “Toraja Tetap Toraja.” Dalam suasana kegembiraan Natal dan Tahun Baru 2022 kegiatan dialog awal tahun ini menjadi kesempatan terbaik membangun sinergisitas merefleksikan bersama perkembangan Toraja dari masa ke masa. Hadir sebagai panelis dalam kegiatan ini adalah Bapa Uskup Keuskupan Agung Makassar, Mgr. John Liku-Ada’, Ketua Badan Pekerja Sinode (BPS) Gereja Toraja, Pdt. Alfred Anggui, Bupati Tana Toraja, Theofilus Allorerung, dan Bupati Toraja Utara, Yohanis Bassang dengan moderator Pastor Paulus Tongli. Peserta yang hadir sebanyak 155 orang yang terdiri dari tokoh-tokoh umat dan masyarakat, perwakilan kelompok kategorial dan Ormas di Toraja.

Pastor Paulus Tongli, selaku moderator, membagi kegiatan ini dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pemaparan gagasan dari keempat panelis. Tahap kedua adalah dialog dari peserta berupa tanggapan kritis, saran-harapan dan refleksi. Mgr. John Liku-Ada’ sekaligus panelis pertama mengetengahkan sebuah harapan untuk merefleksikan identitas kultural Toraja. Uskup yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-73 ini memberikan catatan kritis atas fenomena budaya Toraja dewasa ini, “Identitas budaya Toraja yang asli dalam wujud sekarang sudah banyak mengalami penyimpangan. Kita harus mempelajari terus-menerus identitas asli Toraja. Harapan dialamatkan pada perguruan tinggi yang ada untuk menggali dan mempelajari identitas budaya Toraja yang asli.” Terhadap pergeseran identitas asli budaya Toraja yang mengalami distorsi makna asli, dia pun mengutip teks Injil Markus 7:8-9 “…ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia… Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara ada istiadatmu sendiri.” Nilai suci tradisi leluhur kita orang Toraja harus dijaga dan dipelihara serta tidak boleh didistorsi oleh kepentingan mengejar prestise pribadi atau kelompok. Selanjutnya beliau memaparkan tentang sejarah panjang perjuangan orang Toraja dalam menghadapi invasi dari luar sejak tahun 1683. Mereka berhasil mempertahankan dan menjaga identitas budaya serta kedaulatan Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo melalui perjuangan To Pada Tindo dengan semboyan “Misa’kada dipotuo pantan kada dipomate.” Di akhir pemaparan, Uskup yang mendalami budaya Toraja dalam disertasi doktoralnya di Universitas Gregoriana Roma, Italia, memberikan sebuah arah gerak bersama ke depan, yaitu perlu re-evangelisasi (mengaktualkan iman dalam terang Injil), membangun ekonomi masyarakat Toraja dan re-interpretasi budaya Toraja.

Baca Juga  Buka SSA ke-17 Gereja Kibaid, Begini Pesan Direktur Agama Kristen Kemenag RI

Pdt. Alfred Anggui, yang baru saja terpilih sebagai Ketua BPS Gereja Toraja periode 2021-2026, mengajukan pertanyaan kritis untuk semua peserta, “Kenapa Toraja harus dijaga? Ada apa dengan Toraja?” Pertanyaan ini menjadi pintu masuk membangun kesadaran akan identitas Toraja. Toraja mesti dilihat dalam skala nasional sebagai bagian tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Beliau mencontohkan, “Orang Toraja itu sedikit, tetapi mereka tersebar ke mana-mana dengan membawa adatnya.” Buku “Komandan Frans Karangan. Dalam Gejolak Sejarah” menjadi contoh nyata bagaimana orang-orang Toraja berperan aktif dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Menyikapi situasi dewasa ini di era post-truth, Gereja Toraja mempersiapkan dan mengutus 1000 anggota jemaat sebagai pewarta kabar gembira. Langkah ini merupakan langkah konkret untuk tetap menebarkan kebenaran dan warta keselamatan bagi masyarakat luas di tengah kepungan berbagai macam berita hoaks yang menyesatkan.

Bupati Toraja Utara, Yohanis Bassang, tampil memukau dan mencuri perhatian seluruh peserta dengan gaya retorikanya yang khas. Dia memulai dengan pemaparannya lewat sebuah joke yang segar dan mengundang tawa riuh peserta. Bupati yang baru saja sukses menyelenggarakan festival paduan suara Natal 2021 ini, mengajak peserta untuk tetap menjaga warisan agung leluhur kita orang Toraja yang telah diturunkan dari generasi ke generasi. Langkah konkret yang dibuat oleh Bupati yang sebelumnya lama berkarya di Timika, Papua, adalah membangun Lembang Budaya. “Selama ini yang jamak dikenal adalah Desa Wisata, namun saya ingin membangun Lembang Budaya. Melalui program Lembang Budaya dengan bantuan Rp. 300.000.000,- per lembang, diharapkan sebagai pionir dalam mempertahankan budaya dan kearifan lokal. Sebagai contoh, jikalau orang makan tidak perlu memakai kertas makan yang harus dibeli, tetapi cukup dengan menanam pisang di sekitar pekarangan rumah sehingga daunnya bisa dimanfaatkan sebagai wadah untuk makanan. Sampah dari daun pisang pun tidak akan menjadi polusi untuk lingkungan tetapi justru menjadi pupuk” demikian dengan sangat praktis dan konkret mengaktualisasikan gagasannya tentang menjaga budaya Toraja supaya tetap lestari. Dia pun membuat regulasi daerah supaya pedangan yang datang dari luar tidak mematikan pedagang lokal, melainkan ada kerja sama yang saling menguntungkan.

Baca Juga  Sasar Pemudik, Polres Toraja Utara Gelar Vaksinasi di Pos Pengamanan Lebaran 2022

Bupati Tana Toraja, Theofilus Allorerung, sebagai panelis terakhir, juga mengajukan sebuah pertanyaan refleksif di awal pemaparannya, “Apakah Toraja hari ini masih sama dengan Toraja 100 tahun yang lalu?” Beliau yang sudah kedua kalinya mendapat amanah sebagai bupati di Tana Toraja ini merujuk pada kajian-kajian ilmiah yang telah dibuat dalam Kombongan Sangtorayaan. Ada tiga falsafat hidup orang Toraja sebagai identitas budaya, yaitu Tallu Lolona (manusia, hewan dan tumbuhan) yang ditopang oleh Tallu Batu Lalikan (Gereja, Pemerintah dan Tokoh Adat). Dengan tegas dia mengatakan, “Agama tidak bisa berjalan dengan meninggalkan budayanya. Ketahanan budaya perlu kita jadikan perhatian bersama. Sejauh mana persiapan kita menghadapi akulturasi budaya yang terjadi.”

Baca Juga  PLTA Malea Kucurkan CSR Senilai Rp 8 Miliar, Program Penghijauan Paling Minim Perhatian

Setelah pemaparan keempat panelis tersebut, moderator memberikan kesempatan kepada para peserta mengajukan tanggapan kritis dan masukan memperkaya Dialog Awal Tahun ini. Ada beragam tanggapan dan pemaparan dari para peserta yang kemudian disimpulkan dengan sangat baik oleh Pastor Paulus Tongli selaku moderator. Dia membuat resume atas pemaparan materi dan tanggapan kritis dari peserta dialog demikian: “Ke-Toraja-an memang mengalami tantangan berat dewasa ini. Ada banyak perubahan drastis yang terjadi di sekitar kita. Hal ini memang menggelisakan kita. Perubahan itu sebuah keniscayaan. Di tengah perubahan itu, kita tidak boleh kehilangan identitas. Apa yang harus kita jaga? Kita diajak menjaga budaya Tallu Lolona yang ditopang oleh Tallu Batu Lalikan. Harus perkuat kerja sama antar Gereja, Pemerintah dan Tokoh Adat. Kita harus menjaga relasi manusia dengan Tuhan (aluk-agama); relasi manusia dengan sesama (adat-istiadat), relasi manusia dengan alamnya (kosmis). Oleh karena itu, kita perlu memperkuat iman, menjaga spirit Tallu Lolona dan kebijakan-kebijakan sehingga kita tidak kehilangan identitas budaya Toraja. Perlu adanya regulasi yang mencegah adanya ketimpangan berupa ketidakseimbangan distribusi sumber-sumber ekonomi. Untuk itu, kita butuh gerakan bersama yang harus terus disuarakan.”

Rangkaian kegiatan Dialog Awal Tahun yang dimulai dari pukul 09:00 sampai pukul 15:00 dan berjalan dengan baik serta tertib, akhirnya ditutup dengan ucapan terima kasih dari panitia yang diwakili Pastor Yans Panganna’, budayawan muda Toraja, dan doa penutup serta berkat dari Pastor Bartholomeus Pararak, selaku vikaris episkopalis (Vikep) Kevikepan Toraja, sekaligus ketua panitia kegiatan ini. (*)

Penulis: Aidan P. SidikPeserta Dialog Awal Tahun “Toraja Tetap Toraja”

Komentar