Breaking News
light_mode
Trending Tags
Beranda » Hukum & Kriminal » OPINI: Pro-Kontra Eksekusi Tanah Adat Tongkonan; Antara Hukum Negara dan Keadilan Adat

OPINI: Pro-Kontra Eksekusi Tanah Adat Tongkonan; Antara Hukum Negara dan Keadilan Adat

  • account_circle Redaksi
  • calendar_month Jum, 15 Agu 2025
  • visibility 5.320
  • comment 0 komentar

Oleh: Kurniawan Rante Bombang, S.H.,M.H.,CMLC. (Praktisi Hukum)

KASUS eksekusi tanah adat, rumah Tongkonan di Toraja kembali mengemuka, menimbulkan pro dan kontra tentang benturan antara hukum negara dan hukum adat. Di satu sisi, ada keharusan untuk menegakkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Di sisi lain, masyarakat adat berjuang mempertahankan warisan leluhur yang tak ternilai, yang dianggap sebagai fondasi identitas dan eksistensi mereka.

Sebagaimana dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945: menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Oleh karenanya setiap orang punya hak untuk menggugat. Ini adalah prinsip dasar dalam sistem hukum yang dikenal sebagai hak untuk mengakses keadilan (right to access to justice). Hak yang dijamin oleh konstitusi dan undang-undang. Juga tertuang dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman: Menegaskan bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih tidak ada hukum atau hukumnya kurang jelas. Ini berarti pengadilan wajib menerima setiap gugatan yang diajukan, sepanjang memenuhi syarat yang telah diatur.

Pandangan saya dari kacamata hukum positif, suatu perkara perdata, putusan pengadilan yang telah inkracht (berkekuatan hukum tetap) tentu harus dilaksanakan. Pasal 195 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) dengan jelas mengatur prosedur eksekusi, yang memberikan kewenangan kepada Ketua Pengadilan untuk memerintahkan dan memimpin eksekusi putusan perdata. Secara hukum acara perdata, eksekusi putusan pengadilan yang telah inkracht adalah perintah wajib. Pasal 197 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk menggunakan paksaan, termasuk alat berat, jika pihak yang kalah tidak mau mengosongkan objek sengketa.

Bahwa putusan pengadilan tentang eksekusi (misalkan objek sengketa terdapat bangunan) haruslah dilaksanakan karena eksekusi adalah tahap akhir dan terpenting dalam proses peradilan. Hal tersebut untuk mewujudkan kepastian hukum, menjaga kewibawaan, dan kredibilitas lembaga peradilan, eksekusi sebagai sanksi hukum, dan melindungi hak pihak yang menang. Karena apabila putusan pengadilan hanya tertulis saja dan jika pihak yang kalah menolak untuk menyerahkan objek sengketa. Sehingga harus ada eksekusi riil di lapangan, yang sering kali melibatkan pengosongan lahan, memastikan bahwa hak kepemilikan yang sah dapat dipulihkan.

Kemudian, kalau melihat dari kacamata adat budaya, pada konteks sengketa tanah rumah Tongkonan, dalam beberapa kasus di Toraja belakangan ini, termasuk juga pengalaman menangani perkara seperti ini, masalahnya tidak sesederhana itu.  Menurut saya, ini dilema penegakan hukum; antara kepastian vs keadilan substantif.

Rumah adat Tongkonan bukanlah objek sengketa biasa. Karena rumah adat Tongkonan Toraja adalah simbol status sosial, pusat upacara adat, yang dimiliki secara komunal. Kepemilikan Tongkonan ini terkait erat dengan sistem kekerabatan dan hak ulayat yang diakui dalam hukum adat Toraja. Jika Tongkonan dianggap sebagai bangunan biasa, maka dalam sebuah konflik sengketa hukum, mengeksekusi rumah tongkonan dengan alat berat bisa dianggap sebagai prosedur yang sah secara hukum.

Tetapi, dari sudut pandang budaya Toraja, hal ini dapat mengabaikan dimensi hak ulayat dan kepemilikan komunal yang diakui dalam Pasal 18B Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

Dari perspektif budaya, rumah adat Tongkonan menyimpan cerita, silsilah keluarga, dan ritual adat yang tak ternilai harganya. Ia adalah pusat dari Aluk Todolo (agama dan kepercayaan leluhur) dan menjadi tempat penyimpanan harta pusaka serta keranda leluhur. Mengeksekusi rumah adat Tongkonan dengan alat berat bukan hanya melenyapkan sebuah bangunan fisik, tetapi juga menghapus sejarah, memutus silsilah, dan meruntuhkan fondasi spiritual sebuah keluarga besar.

Coba kita renungkan ya, misalkan sebuah Tongkonan A, dalam prosesnya secara umum, dimulai dari perencanaan, pendirian hingga peresmian, kesemuanya itu kan punya tahapan dan tingkatan yang harus di lalui dan itu membutuhkan pengorbanan yang besar dan sangat sakral. Bahkan untuk mencapai puncak tertinggi sebuah tongkonan yang telah terlegitimasi disebut merok/merauk (sebutan di beberapa wilayah adat di Toraja) atau telah melakukan adat Rampe Matampu, Rampe MataAllo –Rambu Solo’ – Rambu Tuka’ (dukacita & sukacita) disclaimer.

Lalu di kemudian hari muncul konflik atau sengketa di pengadilan yang akhirnya harus dieksekusi. Hanya dengan hitungan jam saja dirobohkan oleh alat berat. Bagi masyarakat Toraja, tentu tindakan ini bisa dianggap sebagai penistaan terhadap nilai-nilai budaya dan harkat martabat masyarakat adat Toraja. Dampaknya sama dengan menghancurkan warisan budaya, sejarah, dan identitas. Kerusakan yang ditimbulkan bersifat permanen dan tidak dapat diganti hanya dengan uang, karena didalamnya telah melalui proses ritual adat, doa, tenaga, pikiran dan cinta kasih. Dan dirasakan oleh seluruh komunitas adat yang melihat Rumah Tongkonan sebagai bagian tak terpisahkan dari simbol dan nilai eksistensi masyarakat adat Toraja. (itu terlepas dari para pihak yang memperebutkan haknya)

Dari sisi lain, bahwa sebenarnya pihak yang bersengketa tentang hak tongkonan ini, erat juga kaitannya dengan egosentrisme, persoalan perebutan hak dalam sebuah rumpun keluarga yang bersengketa, ini juga yang susah dibendung. Dimana tanpa kesadaran moral dan etika ada objek yang melibatkan budaya (simbol rumah adat yang dilindungi bersama) melekat nilai luhur yang dimiliki semua orang Toraja, (bukan hanya pihak yang bersengketa). Tentunya jika hal ini tidak dicarikan solusi akan merendahkan nilai dan simbol-simbol pada sebuah rumah adat tongkonan. Menurut saya ini menarik untuk dikaji secara mendalam.  Hal tersebut dapat dibicarakan bersama oleh Lembaga adat, tokoh masyarakat, DPRD, pemerintah daerah, diaspora Toraja, dan tokoh gereja.

Sebagai praktisi hukum, putra asli Toraja, tentu prihatin dan berharap kedepan yang kiranya dapat dipertimbangkan kepada setiap stakeholder terkait untuk menyelesaikan masalah ini, dibutuhkan pendekatan holistik dan dialog konstruktif yang mengedepankan mediasi, pengakuan hak ulayat, dan (harmonisasi hukum negara dengan hukum adat, ini perlu perjuangan ekstra dan dengan melibatkan pihak-pihak terkait).

Aparat penegak hukum perlu memiliki kepekaan budaya yang tinggi, dan putusan pengadilan diharapkan mempertimbangkan dampak sosial, budaya, dan spiritual yang mungkin timbul, demi mewujudkan keadilan yang seutuhnya.

Beberapa Langkah yang Bisa Ditempuh Jika Bersengketa

  • Mediasi yang berbasis kearifan lokal. Sebelum masuk pada litigasi, perlu ada upaya mediasi yang serius dengan melibatkan para pemangku kepentingan adat, tokoh masyarakat, dan pemerintah daerah; Diperlukan pendekatan yang lebih holistik dan harmonis antara hukum negara dan hukum adat;
  • Mediasi berbasis adat. Dengan melibatkan pemangku adat dan tokoh masyarakat. Pihak yang memenangkan perkara harus memahami nilai sakral Tongkonan.
  • Ganti Rugi Alternatif;
  • Sertifikasi Hak Komunal. Secara jangka panjang, sertifikatkan tanah Tongkonan atas nama yayasan atau badan hukum adat;
  • Advokasi Hukum. Pihak keluarga harus menggunakan argumen hukum yang kuat di pengadilan, seperti mengajukan gugatan intervensi atau perlawanan pihak ketiga, untuk membuktikan status komunal Tongkonan.

* Kurniawan Rante Bombang, S.H.,M.H.,CMLC. — Praktisi Hukum, tinggal di Toraja.

  • Penulis: Redaksi

Komentar (0)

Saat ini belum ada komentar

Silahkan tulis komentar Anda

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang bertanda bintang (*) wajib diisi

Rekomendasi Untuk Anda

  • Tahun Lalu Rp 22,5 M, Tahun Ini Pemprov Sulsel Kembali Bantu Pemkab Tana Toraja Rp 31,2 Miliar

    Tahun Lalu Rp 22,5 M, Tahun Ini Pemprov Sulsel Kembali Bantu Pemkab Tana Toraja Rp 31,2 Miliar

    • calendar_month Kam, 2 Feb 2023
    • account_circle Redaksi
    • visibility 695
    • 0Komentar

    KAREBA-TORAJA.COM, MAKASSAR — Pemerintah Kabupaten Tana Toraja kembali mendapat bantuan keuangan dari pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Tahun ini, Pemkab Tana Toraja mendapat bantuan keuangan sebesar Rp 31,2 miliar. Besaran bantuan keuangan ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Tahun lalu, Pemkab Tana Toraja juga mendapat bantuan keuangan sebesar Rp 22,5 miliar. BERITA TERKAIT: Tana Toraja Kembali […]

  • FOTO: Bulan Bahasa UPT SDN 3 Makale, Tana Toraja

    FOTO: Bulan Bahasa UPT SDN 3 Makale, Tana Toraja

    • calendar_month Sen, 7 Nov 2022
    • account_circle Redaksi
    • visibility 871
    • 0Komentar

    KAREBA-TORAJA.COM, MAKALE — Pemerintah Kabupaten Tana Toraja melalui Dinas Pendidikan Kabupaten Tana Toraja menggelar Festival Bulan Bahasa UPT SD Negeri 3 Makale (Museum Berlian) dengan tema “Bangkit Bersama” di Makale, 31 Oktober-1 November 2022. Kegiatan yang dibuka oleh PLT Kepala Dinas Pendidikan, Andarias Lebang, S.Pd didampingi Kepala Sekolah SD Negeri 3 Makale, Drs.Y.M Reata, ini […]

  • Catatan 19 Tahun Kareba Toraja

    Catatan 19 Tahun Kareba Toraja

    • calendar_month Rab, 21 Sep 2022
    • account_circle Redaksi
    • visibility 697
    • 0Komentar

    Oleh: Dr. dr. Ampera Matippanna, S.Ked. MH* BERUSIA 19 tahun bagi sebuah media massa (mass media)  yang tetap eksis menyajikan berita atau informasi, melakukan edukasi, dan  kontrol sosial kepada  penguasa adalah sebuah pencapaian yang patut mendapatkan apresiasi dari banyak pihak. Media massa Kareba Toraja, dulunya berupa tabloid dwi mingguan yang kadang terbit terbit tepat waktu, […]

  • Bukan Alphard, Bupati Toraja Utara Akan Gunakan Mobil Listrik yang Ekonomis dan Ramah Lingkungan

    Bukan Alphard, Bupati Toraja Utara Akan Gunakan Mobil Listrik yang Ekonomis dan Ramah Lingkungan

    • calendar_month Sen, 31 Mar 2025
    • account_circle Redaksi
    • visibility 2.328
    • 0Komentar

    KAREBA-TORAJA.COM, RANTEPAO — Bupati Toraja Utara, Frederik Victor Palimbong menyatakan dirinya akan menggunakan mobil listrik sebagai kendaraan operasional. “Bukan Alphard, tapi mobil listrik yang lebih hemat dan ramah lingkungan,” jelas Dedy, sapaan akrab Frederik Victor Palimbong, saat dikonfirmasi KAREBA TORAJA, Minggu, 30 Maret 2025. Jawaban Dedy ini sekaligus meluruskan mis-informasi yang beredar di masyarakat tentang […]

  • Legislator Provinsi Yuniana Mulyana Kunjungan Pengawasan APBD dan Temu Konstituen di Lembang Betteng Deata, Gandasil

    Legislator Provinsi Yuniana Mulyana Kunjungan Pengawasan APBD dan Temu Konstituen di Lembang Betteng Deata, Gandasil

    • calendar_month Kam, 9 Okt 2025
    • account_circle Arsyad Parende
    • visibility 802
    • 0Komentar

    KAREBA-TORAJA.COM, GANDANGBATU SILLANAN — Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan Fraksi Partai Demokrat Dapil 10 (Tana Toraja – Toraja Utara) Yuniana Mulyana, S.H menggelar kegiatan pengawasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2025 dan Temu Konstituen. Kegiatan digelar di Lembang Betteng Deata, Kecamatan Gandangbatu Sillanan, Kabupaten Tana Toraja, Kamis 09 Oktober 2025. […]

  • Kedua Kalinya, SPBU Alang-alang di Toraja Utara Terbakar

    Kedua Kalinya, SPBU Alang-alang di Toraja Utara Terbakar

    • calendar_month Sel, 7 Feb 2023
    • account_circle Redaksi
    • visibility 759
    • 0Komentar

    KAREBA-TORAJA.COM, KESU’ — Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) nomor 74.918.02, yang terletak di Alang-alang, Jalan Poros Makale-Rantepao, Kecamatan Kesu’, Kabupaten Toraja Utara, terbakar. Kebakaran terjadi pada Selasa, 7 Februari 2023 sekitar pukul 14.00 Wita. Ini merupakan kebakaran yang kedua kalinya terjadi di SPBU, yang bardiri sekitar 4 tahun itu. Sebelumnya, peristiwa kebakaran melanda sebuah […]

expand_less