MASYARAKAT kita sejak dahulu kala memiliki khazanah pengetahuan keantariksaan (astronomi). Mereka menggunakan pengetahuan tersebut untuk kebutuhan praktis hidup kesehariannya. Inilah yang dinamakan
Pengetahuan tradisional yaitu seluruh ide dan gagasan dalam masyarakat yang mengandung nilai-nilai setempat sebagai hasil pengalaman nyata dalam berinteraksi dengan lingkungan, dikembangkan secara terus menerus dan diwariskan lintas genenerasi.
Salah satu kebiasaan perilaku mengenai alam semesta suku Toraja adalah adanya pengetahuan dan hasil pengamatan terhadap alam, keantariksaan atau benda-benda langit dan hari-hari tertentu (allo, bulan, pa’taunan dan tananan pasa’). Ini adalah pengetahuan alam leluhur turun temurun yang memiliki keterkaitan dengan kehidupan tallu lolona di bumi; lolo tau (manusia), lolo patuoan (hewan) dan lolo tananan (tumbuh-tumbuhan).
Bagi mereka gejala alam adalah cerminan lintasan waktu. Semua pengetahuan yang bersumber kepada pengamatan terhadap alam itu punya kegunaan langsung, misalnya bercocok tanam, beternak, mendirikan rumah, ritual, dan lain-lain.
Perhitungan sesuai kearifan lokal Toraja: pa’taunan (bunga’ lalan, lemba’, manuk, sadang), allo (7), bulan (15 sombo + 15 sampe), tananan pasa’ (6).
Letak bulan dan rasi bintang di langit ternyata berpengaruh terhadap curah hujan, cuaca, dan musim. Namun pun demikian, pengetahuan tradisional di berbagai suku Indonesia pada masa kolonial itu selalu dianggap remeh. Leluhur kita dianggap sebagai sehimpunan manusia yang tidak saintifik. Tidak punya scientific mind dan tidak punya hitung-hitungan.
Anggapan remeh itu kemudian mendekam secara turun-temurun di pikiran generasi berikutnya. Mereka enggan mempelajari lagi warisan pengetahuan lokal tentang astronomi. Akibatnya generasi-generasi setelahnya menjadi terputus dengan pengetahuan lokal tentang astronomi.
Bagi masyarakat Toraja, gejala alam adalah cerminan lintasan waktu. Awan bergerak dari arah barat pertanda akan turun hujan, angin berhembus kencang pada waktu malam pertanda akan datangnya musim kemarau, dll. Pada saat sombo na bulan, biasanya terjadi musim hujan selama beberapa hari bahkan minggu, sampai menjelang malolin bulan. Orang tua mengistilahkan mendau’ daa tu bulan. Dua hari menjelang malolin (purnama), biasanya hujan mulai berkurang bahkan kering hingga sampe barani bahkan beberapa hari kemudian. (*)
Penulis: Eli Bernard — Sekretaris Dinas Pariwisata Kepemudaan dan Olahraga Tana Toraja
Komentar