AMT3 Tolak Rencana Eksplorasi Panas Bumi di Bittuang, Tana Toraja
- account_circle Arsyad Parende/Rls
- calendar_month Ming, 30 Nov 2025
- visibility 1.048
- comment 0 komentar

Peta lokasi dan potensi panas bumi atau geotermal di Bittuang, Kabupaten Tana Toraja, Sulsel. (Foto: dok. istimewah).
KAREBA-TORAJA.COM, MAKALE — Aliansi Masyarakat Toraja Tolak Tambang (AMT3) menyatakan menolak rencana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan survey dan eksplorasi panas bumi di Lembang Bala, Kecamatan Bittuang, Tana Toraja.
AMT3 menilai, pembangunan proyek geothermal di Toraja akan merampas dan merusak ruang hidup masyarakat adat Toraja.
Rencana survey dan eksplorasi ini tertuang dalam surat nomor 22.Pm/EK.04/DEP/2025 tentang Penawaran Ulang Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi Panas Bumi (WPSPE) di daerah Bittuang, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Menurut AMT3, dalam surat tersebut WPSPE yang ditawarkan oleh Kementerian ESDM adalah lokasi seluas 12. 979 Ha, yang artinya 12.979 Ha wilayah kecamatan Bittuang akan dijadikan sebagai wilayah proyek pembangunan energi panas bumi atau geothermal.
Koordinator Aliansi Masyarakat Toraja Tolak Tambang, Wirahadi Simak dalam siaran pers yang diterima Redaksi KAREBA TORAJA, Minggu, 30 November 2025, mengungkapkan, bahwa luas Kecamatan Bittuang hanya kurang lebih 16. 327 Ha. Jika 12.979 ha digunakan oleh pemerintah untuk membangun proyek geothermal akan mencaplok kurang lebih 80% dari luas wilayah Kecamatan Bittuang.
“Luas 12,979 ha itu bukanlah tanah kosong, di dalamnya ada manusia yang hidup secara turun temurun, ada perkebunan, persawahan sebagai ruang hidup dan sumber ekonomi masyarakat. Selain itu di dalamnya juga terdapat beberapa Tongkonan, Patane, dan situs budaya yang merupakan bagian dari kehidupan adat istiadat masyarakat adat Toraja. Juga ekosistem hutan yang masih terjaga yang menjadi sumber mata air utama masyarakat yang ada di Kecamatan Bittuang dan sekitarnya,” tegas Wirahadi Simak, yang juga Ketua Forum Mahasiswa Toraja (FORMAT) Makassar itu.
Menurut Wirahadi, ketika pemerintah memaksakan melakukan pembangunan proyek geothermal tersebut maka secara tidak langsung akan melakukan penghancuran dan perampasan terhadap ruang hidup masyarakat adat yang ada di Kecamatan Bittuang. Selain itu pemerintah juga akan menghancurkan situs budaya dan adat istiadat masyarakat Toraja.
“12.979 ha itu sangatlah luas. Ada ratusan bahkan ribuan warga yang hidup didalamnya akan kehilangan ruang hidupnya serta terhempas dari ruang sosial dan perekonomiannya,” lanjut Wirahadi.
Dikatakan, sejak awal masyarakat Toraja tegas menolak rencana ekspansi energi panas bumi atau geothermal di Toraja. Tahun 2021, masyarakat dari Kecamatan Bittuang telah beberapa kali melakukan demonstrasi untuk menuntut pemerintah membatalkan rencana pembangunan proyek geothermal di Toraja.
“Kami menilai proyek ini merupakan ajang mengundang bencana menggali kubur sendiri. Narasi dibangun pemerintah terhadap energi geothermal sebagai energi baru terbarukan atau ramah lingkungan adalah narasi yang sesat sesat, justru sebaliknya pembangunan geothermal ini memperburuk keadaan ekologi, merampas ruang hidup, menggusur masyarakat adat serta menghilangkan adat istiadat dan budaya,” sesal Wirahadi.
Upaya pemerintah dalam menggenjot dan memaksakan proyek energi panas bumi atau geothermal, khususnya di Toraja, jelas mengabaikan keberadaan masyarakat adat yang selama ini hidup secara turun temurun merawat dan menjaga alam, budaya dan adat istiadat sebagai warisan leluhur. Ketika proyek ini dipaksakan, pemerintah telah melakukan kejahatan yang sangat luar biasa terhadap masyarakatnya.
“Kita harus sadar bahwa, bencana ekologi yang terjadi hari ini, yang sudah memakan korban jiwa hingga ribuan orang diakibatkan oleh kerusakan ekosistem hutan yang sangat masif. Masih segar diingatan bagaimana bencana banjir bandang di Masamba, Luwu Utara yang memakan banyak korban jiwa serta merusak berbagai fasilitas umum dan rumah warga. Dan yang terbaru banjir bandang di Sumatera yang memakan korban 303 orang meninggal dunia. Kita tidak menginginkan bencana tersebut terjadi di Toraja akibat dari kerakusan dan kebijakan pemerintah yang tidak memperhatikan serta tidak peduli terhadap keberlanjutan hidup masyarakat dan lingkungannya,” urai Wirahadi.
Sementara itu, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Bittuang (juga tergabung dalam Aliansi Masyarakat Toraja Tolak Tambang), Anfi menegaskan bahwa di berbagai daerah yang menjadi lokasi pembangunan proyek geothermal telah memunculkan banyak konflik dan mendapat penolakan dari masyarakatnya, mulai dari Dieng, Poco Leok, Mandailing Natal (yang sudah membunuh berapa warga akibat menghirup gas beracun dari aktivitas proyek geothermal) dan di beberapa daerah lainnya, secara nyata memicu banyak konflik mulai dari kerusakan ruang hidup, bencana ekologi hingga menelan korban jiwa.
“Berangkat dari itu kami menilai bahwa proyek yang difasilitasi Negara dalam hal ini pemerintah, semata-mata hanya berpihak pada kepentingan pemilik modal dan korporasi dan mengabaikan hak-hak warga serta keberlangsungan lingkungan hidup. Kami percaya bahwa tidak ada kesejahteraan, peningkatan ekonomi dan kelestarian adat istiadat diatas lingkungan hidup yang rusak,” tegas Anfi.
“Maka dari itu kami mendesak pemerintah daerah sampai pemerintah pusat untuk segera menghentikan rencana pembangunan proyek geothermal di Toraja. Toraja harus masero dari perusak lingkungan dan perampasan ruang hidup termasuk proyek geothermal sebagai Mesin pembunuh yang dibingkai dalam narasi ramah lingkungan,” tandasnya lebih lanjut.
Menurut Anfi, ketika pemerintah ingin melindungi dan perhatian terhadap rakyatnya maka pemerintah harus segera menghentikan seluruh kebijakan dan rencana pembangunan terhadap proyek yang akan merusak lingkungan dan merampas ruang hidup rakyatnya. (*)
- Penulis: Arsyad Parende/Rls
- Editor: Arthur

Saat ini belum ada komentar