OPINI: Pilkada Berkualitas Melalui Pengawasan Partisifatif Berbasis Kearifan Lokal
- account_circle Admin Kareba
- calendar_month Sab, 12 Okt 2024

Yan Malino, S.Th., M.Pd.K. (Foto: dok. pribadi).
Oleh: Yan Malino*
Pemilu dan Pilkada di Indonesia selalu mengusung jargon Luber (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia) dan Jurdil (Jujur dan Adil) untuk mewujudkan pesta demokrasi berkualitas. Namun menurut Priyono, Indonesia masih defisit demokrasi substansial karena konsolidasi demokrasi oligarki sangat kuat. Demokrasi Indonesia tetap dimonopoli kepentingan elite oligarki dan dominan sebatas demokrasi prosedural pelegitimasi kekuasaan. Rakyat sebagai pemberi mandat kekuasaan hanya menjadi objek pelegitimasi. Pemilu dan pilkada masih kurang berkualitas, dalam arti jauh dari demokrasi substansial, rasional, bersih dan bermartabat.
Negara memiliki Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) dengan tugas pokok dan fungsi pengawasan pemilu dan pilkada untuk mewujudkan demokrasi berkualitas. Tetapi berbagai fakta pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku masih terus mewarnai pesta demokrasi. Menyadari keterbatasan Bawaslu dan demi terwujudnya cita-cita demokrasi berkualitas, maka negara memberi jaminan hukum bagi setiap warga masyarakat untuk terlibat aktif dalam pengawasan partisifatif. UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menegaskan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam mengawasi setiap tahapan pemilihan. UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu, memberikan mandat kepada Bawaslu untuk mengawasi pemilihan umum secara komprehensif, termasuk melibatkan peran serta masyarakat. Peraturan Bawaslu yang berlaku tentang pengawasan partisipatif, memberikan ruang kepada masyarakat untuk turut serta dalam setiap proses pengawasan. Sayangnya masyarakat kurang pengetahuan akan hak itu atau kurang kesadaran dan kemauan untuk terlibat dalam pengawasan partisifatif.
Keterlibatan warga masyarakat dalam pengawasan partisifatif, memiliki peran strategis dan dampak signifikan terhadap terwujudnya pilkada serentak 2024 yang berkualitas. Pengawasan partisifatif aktif dan suka rela dari masyarakat adalah “mata dan telinga Bawaslu” yang memiliki kewenangan dari negara untuk menindak tegas setiap pelanggaran. Pengawasan pemilu atau pilkada bukan hanya tanggung jawab lembaga formal negara, tetapi juga bagian dari hak dan kewajiban masyarakat untuk mengawasi jalannya proses demokrasi agar bersih dari pelanggaran.
Salah satu bentuk pelanggaran yang klasik dan umum terjadi adalah politik uang. Praktik meraih kekuasaan dengan cara membeli suara rakyat, telah merusak karakter moral warga masyarakat. Sebagian besar warga bersikap tidak peduli terhadap pemilu berkualitas, sebaliknya menerima suap politik uang seolah telah menjadi hal yang lumrah dan biasa saja. Politik uang telah merusak mentalitas masyarakat. Mereka tidak lagi peduli terhadap nasib buruk bangsa atau daerahnya sebagai konsekuensi dari politik uang karena pikiran dan hatinya telah terjerat sikap dan pilihan politik pragmatis. Realitas buruk ini merupakan tanggung jawab semua pemangku kepentingan, pemerintah, lembaga pendidikan, lembaga agama, partai politik, lembaga adat, LSM, wartawan, dan berbagai organisasi kemasyarakatan lainnya untuk bergandengan tangan melakukan pendidikan politik yang bermartabat dan berintegritas secara massif dan sistematis kepada masyarakat.
Pemanfaatan kearifan lokal daerah setempat dapat berdampak bagi terwujudnya pilkada yang berkualitas. Pengawasan partisifatif berbasis kearifan lokal adalah bagian integral dari upaya mewujudkan demokrasi berkualitas di tingkat daerah. Nilai-nilai budaya lokal dapat difungsionalkan dalam mengawasi pilkada, seperti di Toraja yang kaya dengan kearifan lokal warisan leluhur. Tradisi Tongkonan dapat menjadi modal sosial dalam mewujudkan pilkada Toraja berkualitas. Nilai-nilai luhur manusia Toraya yang menghormati kejujuran dan integritas mengajarkan bahwa harga diri tidak bisa dibeli, dapat menjadi benteng utama dalam melawan politik uang. Tradisi pengambilan keputusan atas dasar kehendak dan tujuan bersama melalui ma’ kombongan, dapat menjadi pilihan keputusan politik bermartabat; bukan karena pengaruh materi. Kombongan kalua’ dapat menjadi wadah bagi semua pemangku kepentingan untuk menyatukan tekad meningkatkan pengawasan partisifatif masyarakat untuk mencegah dan atau melaporkan pelanggaran.
Politik uang adalah musuh bersama Toraya di Toraja, maupun Toraya diaspora. Leluhur Toraya mewariskan pemali (pantangan), maka pemali menerima suap politik uang. Pemali menggadaikan masa depan Toraja pada pilihan politik angge baroko (kepentingan sesaat). Pilihan politik angge baroko adalah mempermalukan (siri’) Toraya. Pilkada Toraja 2024 yang maelo (berkualitas) merupakan tanggung jawab bersama Toraya di mana pun berada. Sebab pilkada maelo adalah longko’ Toraya (harga diri) dalam menghasilkan pemimpin na porannu tobuda (harapan masyarakat). Pada tahun 2017, pengamat politik Ray Rangkuti pernah menyatakan pendapat bahwa politik identitas yang mengusung politik SARA, lebih buruk dari politik uang karena berdampak perpecahan. Leluhur Toraya menjunjung tinggi nilai karapasan (harmoni/kedamaian), dan demi karapasan mengenal prinsip moral unnalli maelo. Nilai-nilai ini seharusnya menginspirasi Toraya untuk berkomitmen menjaga agar pilkada berlangsung dalam suasana yang aman dan damai, terbebas dari manipulasi politik identitas. Menjadi tugas bersama Toraya untuk mengali nilai-nilai kearifan lokal yang fungsional untuk pilkada berkualitas. Berbeda pilihan adalah wajar, yang mestinya dinikmati dalam suasana gembira. (*)
* Yan Malino, S.Th., M.Pd.K
Dosen Institut Agama Kristen (IAKN) Toraja, Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Kristen (FKIPK) Program Studi Pendidikan Agama Kristen. Sedang studi S3 Doktor Sosiologi Agama di UKSW Salatiga
- Penulis: Admin Kareba
Saat ini belum ada komentar