OPINI: Ketika Benteng Terakhir Mulai Retak; Toraja di Persimpangan Identitas, Iman, dan Modernitas
- account_circle Redaksi
- calendar_month 1 jam yang lalu
- comment 0 komentar

Ilustrasi
Oleh: Fransiskus Allo (Dewan Pakar Pemuda Katolik Komcab Tana Toraja, Pemerhati Toraja)
TORAJA bukanlah masyarakat yang rapuh oleh sejarah. Ia pernah menghadapi dua gelombang besar penaklukan: invasi politik-militer Kerajaan Bone dan invasi ideologis-militer pada masa DITII. Keduanya meninggalkan luka, tetapi tidak memusnahkan identitas Toraja. Namun hari ini, Toraja menghadapi ancaman yang justru lebih berbahaya: penaklukan senyap melalui ekonomi dan erosi budaya—apa yang oleh banyak pengamat dapat disebut sebagai fase ketiga penaklukan. Jika dua fase sebelumnya bersifat kasat mata, fase ketiga bekerja secara halus: menguasai tanah tanpa perang, mengubah ritus menjadi komoditas, dan melemahkan simbol budaya melalui hukum positif serta logika pasar.
Dalam pandangan Antonio Gramsci seorang Filsuf Politik&Teoritikus Budaya asal Italia inilah hegemoni,kekuasaan yang tidak lagi memaksa dengan kekerasan, melainkan membentuk kesadaran sehingga dominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar.Gejalanya nyata di Toraja: sektor ekonomi strategis dikuasai pihak luar, tanah adat berpindah tangan, ritus direduksi menjadi atraksi wisata, dan simbol sakral seperti tongkonan diperlakukan semata sebagai objek hukum atau aset material. Budaya masih tampak hidup, tetapi perlahan kehilangan rohnya.Namun krisis ini tidak lahir tiba-tiba. Akar persoalannya jauh lebih dalam dan historis
Adat yang Tercerabut dari Spiritualitasnya
Sebagai sebuah entitas budaya, krisis Toraja berakar pada tercerabutnya adat dari spiritualitas yang selama berabad-abad menjadi roh penghidupnya. Adat Toraja yang dahulu menyatukan manusia, kosmos, leluhur, dan Yang Ilahi dalam konteks Aluk Todolo saat itu perlahan direduksi menjadi tradisi sosial tanpa legitimasi spiritual.
Proses ini menguat sejak era kolonialisasi, ketika masuknya pemerintahan Belanda ke Toraja berjalan beriringan dengan misi Protestan Gereformeerde Zendingsbond (GZB). Dalam paradigma modernitas kolonial, Aluk Todolo diposisikan semata sebagai “agama lama” yang harus ditinggalkan , bukan sebagai sistem kosmologi, etika, dan spiritualitas yang membentuk tatanan hidup orang Toraja. Sejak saat itu, pemisahan tajam antara iman dan adat menjadi fondasi relasi yang problematik hingga hari ini.
Akibatnya, orang Toraja mengalami dualitas identitas yang kontras. Di satu sisi memeluk agama Kristen, di sisi lain tetap hidup dalam adat yang kehilangan makna transendennya. Adat dijalankan tanpa roh; iman dianut tanpa akar budaya. Budaya kehilangan daya hidupnya, sementara iman kehilangan tubuh sosialnya. Dalam perspektif antropologi Clifford Geertz daria Amerika serikat, ketika simbol-simbol religius tercerabut dari kosmologinya, ia berubah menjadi ritual kosong. Di titik inilah budaya menjadi rapuh dan mudah dihancurkan oleh hukum positif, kapital, dan kepentingan eksternal.
Modernime
Modernisme bekerja di Toraja bukan sebagai kekuatan yang frontal memusuhi adat, melainkan sebagai proses senyap yang merasionalisasi, mengindividualisasi, dan mengkomodifikasi kehidupan. Dalam logika modern, tongkonan direduksi dari pusat kosmologi dan solidaritas menjadi bangunan fisik, aset hukum, atau komoditas ekonomi; ritus berubah dari peristiwa sakral menjadi tontonan; dan tanah adat dipersempit menjadi sertifikat individual. Rasionalitas instrumental menggantikan makna, hukum positif menyingkirkan hukum adat, dan sekularisasi memisahkan adat dari spiritualitas yang selama berabad-abad menjadi rohnya. Inilah yang menjadikan budaya rapuh: bukan karena adat ditinggalkan, tetapi karena ia dijalankan tanpa jiwa. Tanpa penafsiran kultural dan spiritual, modernisme berubah menjadi bentuk penaklukan tanpa perang,menguasai tanah tanpa senjata, meruntuhkan simbol tanpa kekerasan, dan membuat suatu bangsa budaya perlahan asing di tanahnya sendiri. Tantangan Toraja hari ini bukan menolak modernitas, melainkan menjadi modern tanpa kehilangan jiwa.
Modernisme tidak dapat dihindari, tetapi ia harus ditafsirkan secara kultural dan spiritual. Tanpa penafsiran, modernisme akan bekerja sebagai kekuatan yang mencabut orang Toraja dari relasi kosmis, kekerabatan, dan makna hidupnya; dengan penafsiran yang tepat, ia justru dapat menjadi sarana pembaruan. Kemajuan ekonomi, hukum negara, pendidikan, dan pariwisata harus dibaca dalam terang nilai solidaritas tongkonan, keadilan adat, dan spiritualitas yang menghidupkan budaya Toraja. Modernisme tidak boleh menjadi nilai tertinggi yang menghakimi adat, melainkan alat yang melayani manusia dan identitasnya.. Tantangan Toraja hari ini bukan memilih antara adat atau kemajuan, melainkan menjadi modern tanpa kehilangan jiwa; sebab tanpa akar makna, modernisme hanya akan menjadikan Toraja asing di tanahnya sendiri.
Fragmentasi Teologi dan Jalan Inkulturasi
Mengembalikan spiritualitas adat Toraja bukanlah perkara mudah. Realitas Toraja hari ini ditandai oleh fragmentasi agama dan fragmentasi teologi, terutama di lingkungan Kekristenan. Tidak sedikit pendekatan teologis yang masih memandang adat sebagai ancaman iman, bukan sebagai ruang dialog. Paradoksnya, sikap ini justru melahirkan krisis ganda: budaya dilemahkan, iman kehilangan daya inkarnatifnya. Kekristenan berisiko menjadi iman yang formal dan abstrak, sementara adat kehilangan orientasi transendennya.
Dalam konteks inilah teologi inkulturasi Katolik menawarkan jalan reflektif yang penting. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa Injil tidak pernah hadir dalam ruang hampa budaya. Gaudium et Spes (Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja dan dunia ) menyatakan bahwa segala yang baik dalam kebudayaan bangsa-bangsa tidak dimusnahkan, melainkan disembuhkan dan disempurnakan (GS 58). Sementara Ad Gentes(Dokumen Konsili Vatikan II yang merefleksikan misi Gereja dalam dunia modern) menegaskan bahwa Injil harus berakar dalam kebudayaan setempat agar Gereja sungguh menjadi Gereja lokal (AG 22).
Gagasan ini diperdalam secara kontekstual oleh Mgr. Dr. Johannes Liku Ada’, Uskup Agung Emeritus Makassar asal Toraja. Dalam disertasi doktornya di Universitas Gregoriana Roma (Towards a Spirituality of Solidarity, 1986), ia menegaskan bahwa spiritualitas Kristiani di Toraja hanya dapat menjadi autentik bila berakar pada nilai solidaritas dalam budaya Toraja. Bagi Liku Ada’, nilai-nilai Aluk Todolo,solidaritas komunal, relasi kosmis, dan pengorbanan demi keselamatan dapat dipahami sebagai praeparatio evangelica, suatu persiapan Injil. Adat bukan lawan iman, melainkan ruang tempat Allah telah lebih dahulu bekerja.Gagasan Liku Ada’ kemudian ia jabarkan dalam teologi Inkulturasi kontekstual “Reinterpretasi Reaktualisasi budaya Toraja dalam Terang Injil’.
Belajar dari Sejarah Realitas Kontekstual Komunitas Adat Indonesia dan Dunia
Studi-studi tentang komunitas adat di Indonesia memperlihatkan pola struktural yang konsisten dalam proses degradasi identitas budaya. Komunitas Orang Rimba di Jambi mengalami disintegrasi identitas seiring hilangnya hutan sebagai ruang kosmologis; masyarakat Marind di Papua mengalami krisis makna ketika tanah adat direduksi menjadi objek kebijakan pembangunan; komunitas Mentawai mengalami pelemahan sistem budaya setelah spiritualitas Arat Sabulungan dipinggirkan; Dayak Punan terdorong keluar dari relasi kosmisnya akibat ekspansi ekonomi modern; dan masyarakat Bajo mengalami erosi identitas ketika relasi spiritual dengan laut terputus oleh kebijakan pemukiman. Dalam seluruh kasus tersebut, kehancuran budaya tidak berlangsung melalui konflik terbuka, melainkan melalui proses rasionalisasi, sekularisasi, dan komodifikasi yang memutus keterkaitan antara ruang hidup, spiritualitas, dan simbol budaya. Dalam kerangka ini, situasi Toraja menunjukkan gejala serupa: ketika tongkonan diperlakukan semata sebagai objek hukum atau ekonomi, identitas budaya kehilangan fondasi simbolik dan spiritual yang menopangnya.
Sejarah menunjukkan bahwa banyak masyarakat adat runtuh bukan karena perang, melainkan karena kehilangan tanah, narasi, dan spiritualitasnya. Bangsa Ainu di Jepang hampir kehilangan bahasa dan ritusnya; Indian Cherokee tercerabut dari tanah leluhur; Aborigin Australia mengalami krisis identitas lintas generasi setelah kehilangan sebagian besar tanah adatnya. Polanya selalu sama: hapus maknanya, kuasai tanahnya, ubah sejarahnya,penaklukan selesai tanpa perlawanan.
Toraja kini berada di persimpangan yang serupa. Benteng terakhir yang masih bertahan adalah identitas budaya. Namun benteng ini mulai retak karena fondasi spiritualnya telah lama dilemahkan.
Penutup dan Rekomendasi
Toraja belum kalah. Tetapi ia sedang diuji. Perlawanan hari ini bukan lagi bersenjata, melainkan perlawanan budaya, spiritual, dan kesadaran kolektif. Maka peran penting tiga pilar hidup yang ada dalam Masyarakat Toraja yang dikenal dengan Tallu batu lalikan yakni Pemerintah, Masyarakat Adat, dan Agama (Gereja)sangat diperlukan
Pemerintah daera baik Tana Toraja,Toraja Utara perlu mengambil Langkah segerah melindungi adat dan budaya melalui pendekatan regulasi Perda Perlindungan adat dan budaya Toraja, yang didalamnya memuat ; Perlindungan Tongkonan dan situs Budaya Toraja lainya sebagai budaya hidup bukan sekadar bangun mati, Perlindungan tanah adat, menata pariwisata berbasis etika budaya, dan menjadikan budaya subjek pembangunan. Penguatan Lembaga adat melalui Pengakuan secara formal serta melibatkan Komunitas adat dalam setiap proses pengambilan kebijakan dan Yang tidak kala penting adala Pendidikan Budaya Toraja dalam Kurikulum lokal untuk Generasi Muda Toraja ini faktor penting untuk ketahanan budaya Toraja dalam jangka Panjang.
Masyarakat adat perlu mengembalikan tongkonan sebagai pusat solidaritas dan makna, bukan sekadar simbol fisik. Sebagai upaya menjaga keberlanjutan Toraja sebagai entitas budaya yang hidup, beberapa langkah strategis berikut perlu segera diambil oleh masyarakat adat dan para pemangku kepentingan: . Menghentikan komersialisasi adat dari dalam komunitas sendiri yang mereduksi ritus dan simbol budaya menjadi ajang gengsi dan transaksi ekonomi,mengehentikan politisasi tongkonan untuk kepenting pragmatis, Memperkuat lembaga adat dan otoritas moral tetua adat “pentingnya integritas Parengnge’ disetiap wilayah adat, sehingga hukum adat kembali berfungsi dalam penyelesaian konflik dan perlindungan tanah serta simbol budaya, . Menjamin pewarisan nilai, bahasa, dan filsafat hidup Toraja kepada generasi muda, agar adat tidak terputus dari roh spiritual yang menghidupkannya,. Membangun aliansi budaya dan moral dengan gereja, akademisi, serta masyarakat sipil, guna memperkuat perlindungan identitas Toraja dalam kerangka negara modern.
Gereja dipanggil untuk menjadi ruang penyembuhan luka sejarah—membangun iman yang berakar dalam budaya, bukan iman yang mencabut budaya dari rohnya. Gereja dipanggil hadir sebagai penjaga makna dan pendamai identitas, bukan sebagai kekuatan yang mencabut umat dari akar budayanya. Di Toraja, Gereja perlu membela tongkonan dan ritus adat sebagai ruang nilai, solidaritas, dan spiritualitas, serta berani bersuara profetis ketika simbol budaya diperlakukan semata sebagai objek hukum atau ekonomi. Gereja juga ditantang membuka ruang dialog lintas denominasi agar fragmentasi teologis tidak semakin memperdalam krisis identitas orang Toraja. Keberpihakan Gereja pada budaya bukanlah kompromi iman, melainkan kesaksian Injil itu sendiri: bahwa keselamatan tidak memusnahkan yang manusiawi, tetapi menebus dan menghidupkannya.
Tanpa rekonsiliasi antara iman, budaya, dan modernitas, Toraja berisiko kehilangan bukan hanya simbol-simbolnya, tetapi jiwanya sebagai sebuah bangsa budaya. (*)
Makale 13 Desember 2025
- Penulis: Redaksi
- Editor: Arthur

Saat ini belum ada komentar