OPINI: Multikultural Pendidikan Pancasila Bagi Generasi Milenial
- account_circle Redaksi
- calendar_month Sen, 2 Jan 2023

Elisabet Tri Alfriputri
Oleh: Elisabet Tri Alfriputri
Pendidikan Pancasila bagi generasi milenial di era digital. Era digital ditandai dengan internet of things dimana segalanya semakin dipermudah dengan penggunaan internet, dan memunculkan generasi milenial yang memperlihatkan peningkatan penggunaan dan keakraban dengan komunikasi, media dan teknologi digital. Hal ini berdampak akan terjadinya perubahan kebiasaan dan tingkah laku, yang tidak jarang mengarah pada kebiasaan buruk seperti perilaku pragmatis, materialis dan hedonis.
Pendidikan Pancasila memiliki peran yang sangat penting dalam hal ini. Pendidikan Pancasila harus diintegrasikan ke dalam setiap kajian lain seperti titah dalam kurikulum 2013 dan difokuskan dalam pembentukan karakter warga negara terutama warga negara digital. Ideologi Pancasila yang pada dasarnya bersifat terbuka tersebut sangatlah visioner dalam menghadapi tantangan di era digital ini. Dengan konsep pendidikan Pancasila yang menekankan pada proses pembelajaran berbasis living values dengan memanfaatkan multimedia berbasis internet, dapat mendukung pembentukan karakter generasi milenial yang tidak hanya akrab dengan teknologi digital tetapi juga memiliki karakter yang Pancasilais. Pendidikan Pancasila yang berbasis Living Values tersebut dengan mengkaitkan nilai-nilai dalam kehidupan nyata.Pancasila dalam diri bangsa Indonesia mulai luntur seiring perjalanan waktu (Fitri Anggriani, 2018).
Contoh kecilnya pada konsep nilai sila ke-3 yang mengajarkan persatuan, tetapi saat ini orang-orang menjauhkan nilai persatuan dan lebih hidup individual dengan menikmati perkembangan teknologi saat ini. Salah satu yang mendominasi perubahan sikap dan sifat bangsa Indonesia adalah berkembangnya IPTEK yang kian modern di Indonesia.
Saat ini IPTEK mulai berkembang pesat di Indonesia, seiring zamannya yang mulai masuk revolusi industri 4.0. Pengembangan IPTEK tidak terlepas dengan nilai-nilai budaya dan agama, dimana itu dapat menurunkan moral bangsa. Budaya-budaya luar mulai masuk dan menyebarluas di masyarakatnya. Sehingga berbagai macam pengaruh mulai dari internal maupun eksternal masuk ke dalam diri bangsa Indonesia. Dengan adanya Pancasila sebagai ideologi diharap mampu memperteguh sikap dan sifat masyarakat dalam menerima hal-hal diluar batas norma yang ada di Indonesia (M. Taufik, 2018).
Pendidikan Pancasila patut diajarkan lagi khususnya kepada masyarakat umum yang hidup di zaman saat ini. Banyak yang tidak dapat menerapkan nilai-nilai Pancasila pada aspek kehidupannya, karena sudah tercampur dengan budaya-budaya barat yang serba instan. Jiwa sosial antar satu dengan yang lain dalam jarak dekat kian menipis, tergantikan dengan adanya teknologi baru dimana mereka lebih mementingkan kehidupan di dunia maya (Yudistira, 2016).
Pancasila merupakan sebuah ideologi kokoh di Indonesia dimana apapun aktivitas kehidupan masyarakat berpedoman kepada Pancasila, terutama saat berhubungan dengan antar manusia yang yang berbeda-beda suku, ras, dan agama (Bhagaskoro, Utungga Pasopati, & Syarifuddin, 2019).
Maka dari itu, Pancasila mampu menjadi alat pemersatu bangsa Indonesia dan sumber nilai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Shofa, 2016).
Tak hanya itu saja, Pancasila juga bisa menjadi dasar moral atau norma dan tolak ukur tentang baik dan buruk, benar dan salah sikap, perbuatan dan tingkah laku bangsa Indonesia. Pancasila yang berkembang pada situasi dunia diliputi oleh berbagai tajam konflik ideologi (Fathorrahman, 2018). Saat itu kondisi politik dan keamanan negara diliputi kekacauan dan budaya Indonesia yang sudah mulai luntur dengan adanya jajahan dari luar. Hingga terjadi pembagian masa orde di Indonesia. Pertama masa Orde Lama dengan 3 periode, 1945-1950, 1950-1959, dan 1959-1965 yang dipimpin presiden Soeharto. Kedua muncul masa Orde Baru dengan kepemimpinan presiden Soekarno. Dan terakhir masa Reformasi dimana akan diatur ulang aturan-aturan yang tidak sesuai dengan Indonesia.
Pengamalan Nilai-Nilai Pancasila bagi Generasi Milenial Jurnal Inovasi Ilmu Sosial dan Politik (JISoP) ~ 13 Ciptaan disebarluaskan di bawah Lisensi Creative Commons Atribusi-BerbagiSerupa 4.0 Internasional. Ada tiga tataran nilai dalam ideologi Pancasila yaitu nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksis (Agus, 2016).
Ketiga nilai tersebut dijelaskan sebagai berikut:
- Nilai dasar, suatu nilai yang bersifat abstrak dan tetap, yang terlepas dari pengaruh perubahan Nilai dasar merupakan prinsip, yang bersifat abstrak dan umum, tidak terikat waktu dan tempat. Nilai dasar Pancasila tumbuh baik dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah yang sudah menyengsarakan rakyat Indonesia, disamping cita-cita bangsa yang ditindas penjajah.
- Nilai instrumental, nilai yang bersifat Nilai instrumental merupakan penjabaran dari nilai Pancasila, yang merupakan arah kinerja untuk kurun waktu tertentu dan kondisi tertentu. Nilai instrumental dapat disesuaikan dengan tuntutan zaman. Namun nilai instrumen harus mengacu pada nilai dasar yang dijabarkan. Dari kandungan nilainya, nilai isntrumental merupakan kebijaksanaan, strategi, organisasi, sistem, rencana, program, bahkan proyek-proyek yang menindaklanjuti nilai dasar tersebut. Lembaga negara yang berwenang menyusun nilai instrumental adalah MPR, Presiden, dan DPR.
- Nilai praksis, nilai yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Berupa cara bagaimana rakyat Indonesia mengamalkan nilai Pancasila. Nilai praksis banyak wujud penerapan nilai-nilai Pancasila, baik tertulis maupun tidak tertulis; baik dari cabang eksekutif, legislatif, yudikatif; oleh organisasi kemasyarakatan, badan ekonomi, pimpinan kemasyarakatan, bahkan oleh warganegara perseorangan. Maka dari itu upaya menumbuhkan sikap diri berlandaskan Pancasila harus diterapkan sejak Lingkungan keluarga maupun sekolah harus menjadi pendukung menumbuhkan sikap Pancasila. Hal kecil yang dapat dilakukan dengan mudah yaitu membiasakan rasa tolong menolong kepada yang lain dan membiasakan menyapa ketika bertemu orang lain. Karena kebiasaan kecil akan berdampak terus menerus jika dilakukan. Dengan sikap seperti itu tentunya rasa sosial akan semakin terlihat. Kemudian tekunkan ibadah, dimana kita berpikir bahwa hidup kita singkat sehingga harus ingat pada tuhan. Dan masih banyak lagi yang bisa dilakukan dari dini. (*)
ELISABET TRI ALFRIPUTRI
Mahasiswi Prodi PGSD, Universitas PGRI Kanjuruhan Malang
- Penulis: Redaksi
Saat ini belum ada komentar