OPINI: Eksekusi Tongkonan di Toraja dan Krisis Identitas Budaya
- account_circle Redaksi
- calendar_month Sab, 6 Des 2025
- comment 7 komentar

Ilustrasi eksekusi Tongkonan. (Ist/AP)
Oleh: Fransiskus Allo (Dewan Pakar Pemuda Katolik Komcab Tana Toraja)
Tongkonan — Lambang Jiwa Toraja
Tongkonan bukan sekadar rumah bagi masyarakat Toraja. Ia adalah pusat kehidupan sosial, simbol leluhur, dan penanda identitas komunitas. Atap melengkung dan pahatan kayu pada dindingnya bukan dekorasi , melainkan cerita, garis keturunan, adat, dan kenangan bersama.
Tongkonan memuat sejarah keluarga, ritual adat, musyawarah, hingga warisan spiritual, sehingga ia melampaui makna properti biasa. Kehadirannya menjembatani generasi masa lalu, kini, dan masa depan; memberikan rasa memiliki, keterikatan, dan kebanggaan akan identitas Toraja.
Ketika Hukum Positif Menyapa Arsitektur Adat Budaya Toraja
Pada 2025, gelombang sengketa hukum membawa ancaman nyata pada rumah adat Toraja. Kasus paling menyedihkan adalah eksekusi terhadap sejumlah Tongkonan, termasuk Tongkonan Ka’pun yang diperkirakan berusia sekitar 300 tahun di Kecamatan Kurra, Tana Toraja, Jumat, 5 Desember 2025.
Apa yang seharusnya menjadi warisan tak ternilai harus runtuh oleh keputusan hukum, dieksekusi dengan alat berat, di depan mata keturunan yang meratap. Mesin-mesin menggantikan ritual adat, debu dan puing menggantikan doa leluhur, dan atap berukir yang tegak selama berabad-abad hancur dalam hitungan menit.
Ribuan orang keturunan, warga, generasi muda menyaksikan dengan duka. Banyak yang merasakan kehilangan bukan sekadar kayu atau tanah, tetapi bagian dari identitas diri, martabat keluarga, dan ingatan kolektif yang tak tergantikan.
Dilema Kepastian Hukum vs Keadilan Budaya
Pemerintah dan aparat penegak hukum berargumen bahwa putusan pengadilan serta penegakan hukum positif harus dihormati. Sengketa tanah dan batas lahan adalah persoalan legal, dan hukum negara tidak bisa diabaikan. Namun, ketika objek yang dieksekusi adalah simbol sakral budaya rumah adat yang merupakan “jiwa komunitas” apakah cukup dengan sekadar menegakkan hukum?
Beberapa pihak, termasuk tokoh adat dan elemen masyarakat, berpendapat bahwa pendekatan hukum formal tanpa memperhitungkan nilai-nilai kultural dan historis adalah bentuk ketidakadilan bahkan bisa dianggap “pelecehan terhadap warisan leluhur”.
Dilema ini bukan hanya antara dua kepentingan hukum dan budaya , tetapi antara masa depan hukum modern dan masa depan identitas kultural. Bila hukum menang tanpa kompromi, korban utamanya bukan sengketa,melainkan generasi masa depan yang kehilangan akar sejarah dan warisan nilai.
Patah Fisik, Tapi Lebih Parah Patah Jiwa Kolektif
Ketika Tongkonan roboh, yang hilang bukan sekadar atap dan dinding. Yang hilang adalah memori generasi, ikatan sosial, tempat berkumpul keluarga besar, ruang ritual adat, dan ruang identitas. Dalam puing-puing kayu yang berserakan, terkubur pula cerita leluhur, tawa masa lalu, janji masa depan, dan rasa menjadi Toraja.
Generasi muda Toraja kini dihadapkan pada luka batin, bagaimana mereka mengenal leluhur tanpa rumah warisan, bagaimana mewariskan budaya ketika simbol fisiknya sudah hilang, bagaimana merajut kembali identitas ketika asal-usul dibongkar?
Lubang besar kehilangan ini bukan hanya soal warisan properti tetapi potensi rusaknya identitas kolektif, hilangnya rasa memiliki, dan memudarnya kebanggaan budaya di tengah arus modernisasi dan hukum positif.
Toraja hari ini menangis. Tongkonan Ka’pun dan banyak rumah adat lain sudah roboh, dihamparkan debu dan puing. Tapi puing itu adalah pengingat bahwa warisan leluhur adalah tanggung jawab kita.
Semoga peristiwa menyedihkan ini membangkitkan empati dan kesadaran kolektif, bahwa budaya bukan barang mati. Ia hidup dalam kita dalam ingatan, identitas, dan kebersamaan. Bila kita membiarkan akar budaya tergerus hukum tanpa kompromi, kita bukan melindungi negara tetapi merenggut sejarah dan masa depan komunitas.
Semoga hari esok memberi ruang bagi dialog, perlindungan budaya, dan penghormatan atas warisan leluhur. Agar generasi mendatang bukan hanya tahu nama “Tongkonan”, tetapi merasakan jiwa Toraja yang sesungguhnya.
Kasus eksekusi Tongkonan harus menjadi alarm bagi kita semua terkhusus Orang Toraja. Hukum dan budaya harus berjalan beriringan.Penegakan hukum tidak boleh meminggirkan aspek budaya. Negara dan aparat perlu mengedepankan dialog, kepekaan, dan rasa hormat terhadap komunitas adat sebelum mengambil keputusan yang berdampak pada warisan leluhur.
Perlindungan nyata terhadap warisan budaya lokal,Rumah adat, situs tradisional, dan bangunan sejarah adalah hal yang sangat mendesak, jangan diperlakukan sebagai objek sengketa properti biasa. Harus diakui sebagai aset budaya, bahkan diusulkan sebagai cagar budaya agar mendapat perlindungan hukum khusus.
Partisipasi masyarakat adat dan generasi muda,Komunitas adat dan kaum muda harus diberi ruang aktif dalam membuat kebijakan, penyelesaian sengketa, atau pelestarian warisan budaya. Warisan bukan hanya milik masa lalu, tetapi amanah untuk masa depan.
Kesadaran bersama bahwa kehilangan budaya sama dengan kehilangan identitas.Bila kita membiarkan simbol budaya hilang tanpa perlawanan, kita bukan hanya membiarkan bangunan runtuh namun kita membiarkan bangsa kehilangan bagian dari jiwanya. (*)
Makale 5 Desember 2025.
- Penulis: Redaksi

Menghilangkan cagar budaya dengan cara dihancurkan atas dasar menghormati keputusan hukum sama halnya menghancurkan masa depan negara Indonesia yang dikenal dengan kekayaan budaya, adat istiadat yang ada, tumbuh dan berkembang selama ini. Cagar Budaya bukan saja sekedar memiliki nilai kekayaan warisan budaya melainkan dapat menambah pendapatan negara melalui sektor wisata baik, dalam negeri maupun manca negara.
9 Desember 2025 8:56 amHarapan kita keputusan hakim dalam memutuskan perkara harus bijak, karena jika gaya memutuskan persoalan ini tetap menjadi seperti ini saya yakin akan lebih banyak cagar budaya di Indonesia ini akan dihancurkan dengan tumpang tindih lahan peninggalan di claim dalam izin HPH dll.
Seharusnya pemerintah mengambil alih dgn kovensasi ganti rugi dan dijadikan wisata budaya
8 Desember 2025 10:17 pmSetau saya ini sengketa waris keluarga dan ada pertikayan antar keluarga
8 Desember 2025 11:48 amSaya sebagai warga bandung sangat sedih melihat kejadian yang terjadi dalam kehidupan yang makin luntur
7 Desember 2025 8:18 pmNilai budaya dan simbol leluhur menjunjung adat istiadat di suatu
Tempat dan ciri khasnya tersendiri musnah karena ego …mari kita jaga
Saudara ku suatu yang indah di negeri ini
Astagfirullah, teganya. Kenapa sih? Tidak adakah cara lain yang lebih bijak?
Harusnya ada. Bukankah ada kemauan pasti ada jalan?
Waktu tak kan pernah bisa diulang. Apakah kalian akan mewariskan traktor dan alat berat itu?
Pemerintah dan dpr terlalu sibuk entah mengurusi apa, warisan budaya yang sudah ratusan tahun sirna begitu saja. Luka itu sampai di hati saya juga.
7 Desember 2025 8:04 pmNgeri sekali keputusan yg diambil. PN ini. Cagar budaya. Kultur dan sejarah. Sengaja mau di hilangkan.
7 Desember 2025 9:42 amPutusannya ini… Gak bisa di benarkan.
300 thn hilang begitu saja.
Kalau benar bangunan itu sudah ada 100 thn lebih. Putusan ini gak bisa di benarkan.
Kita menggali sejarah yg terkubur. Sedangkan ini. Menghilangkan sejarah yg nyata.
Di tahun 2025 ini SDH ada tiga (3) lokasi berbeda rumah adat Toraja di robohkan oleh pengadilan Negeri. Apakah itu tongkonan atau rumah adat Toraja ,Ini bertanda bahwa adat budaya Toraja sedang tidak aman . Penegan hukum antara kedua belah pihak tanpa di sadari kalau adat dan budaya kita sebagai martabat kita akan hancur.
6 Desember 2025 7:58 pm