Oleh Marcellus Rantetana[1]
Entrepreneur didefinisikan sebagai orang yang keatif dan inovatif, yang terus-menerus menggali ide-ide baru untuk menciptakan sesuatu yang baru. Kreativitas seorang entrepreneur bermuara pada pembentukan perusahaan yang menghasilkan produk baru, ddan pada akhirnya memberikan keuntungan ekonomis yang besar. Entrepreneur biasanya dibedakan dengan pengusaha yaitu orang-orang yang memproduksi produk dengan menggunakan cara-cara yang sudah ada. Walaupun dalam rangka memperkuat daya saing, pengusaha juga mencari cara-cara baru untuk berproduksi. Oleh karena itu seorang entrepreneur sudah pasti adalah seorang pengusaha, akan tetapi seorang pengusaha tidak selalu merupakan seorang entrepreneur.
Seorang entrepreneur bersikap kritis terhadap situasi yang dihadapi dan secara kratif mencari cara menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dengan cara berfikir “out of the box” atau yang belum pernah digunakan sebelumnya. Dengan pola pikir demikian seorang entrepreneur selalu bersikap terbuka, namun tetap fokus pada sesuatu yang sedang dikerjakan dengan sikap optimisme akan meraih keberhasilan. Sikap optimis tersebut memacu seorang entrepreneur untuk tidak mudah menyerah dan terus berusaha sampai yang dicita-citakan terwujud, walaupun menghadapi tidak sedikit tantangan dan resiko keagalan. Resiko tidak dihindari, tetapi justru dianggap sebagai tantangan yang harus diatasi, karena itu mereka biasanya disebut risk lover (pencinta resiko).
Kehadiran teknologi digital dengan internet yang menghubungkan praktis semua titik di permukaan bumi, membuka peluang yang tidak terbatas bagi mereka yang berfikir keatif. Hal ini telah mendorong munculnya entrepreneur-entrepreneur muda di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia, yang mengelola aset milyaran dollar. Merekalah yang berada dibelakang munculnya media sosial seperti seperti Facebook, WhatsApp, Tweet, dan beberapa lainnya yang saat ini praktis menguasai dunia.
Menggerakkan Ekonomi
Produk-produk baru yang diciptakan entrepreneur memperbesar nilai ekonomi melalui penciptaan nilai tambah, dan karena itu mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah di mana mereka berada. Besaran nilai ekonomi dari suatu wilayah (kabupaten/kota, provinsi, negara) yang disebut Produk Domestik Bruto (PDB) adalah nilai total (rupiah) dari semua barang dan jasa yang dihasilkan/diproduksi dalam wilayah tersebut pada suatu perode tertentu (biasanya satu tahun). Dengan demikian semakin banyak produk baru yang diproduksi akan semakin besar nilai (volume) ekonomi suatu wilayah.
Ada dua cara menghitung volume ekonomi atau besaran PDB suatu wilayah, yaitu pertama, menghitung nilai total dari produk akhir (produk yang siap dikonsumsi) yang dihasilkan, dan kedua, menghitung total nilai tambah yang tercipta dalam proses menciptakan produk akhir. Kedua cara ini menghasilkan nilai yang sama. Berikut diberikan illustrasi yang sangat sederhana bagaimana menggunakan kedua cara ini. Misalkan suatu wilayah hanya menghasilkan satu jenis produk akhir yaitu kopi siap konsumsi (kopi bubuk) sebanyak 1,5 kg dengan nilai Rp100.000, maka dengan menggunakan cara pertama, PDB dari wilayah tersebut adalah Rp100.000.
Apabila menggunakan cara kedua yaitu menghitung total nilai tambah, maka yang dihitung adalah total nilai tambah yang tercipta dalam proses menciptakan produk siap konsumsi yang biasa juga disebut barang jadi. Dalam tabel di bawah diberikan tahapan produksi yang dilalui untuk menghasilkan kopi siap dikonsumsi, yaitu 1) panen kopi yang menghasilkan biji kopi segar, 2) pengupasan yang menghasilkan biji kopi berwarna hijau (green bean), 3) sangrai yang menghasilkan biji kopi berwarna gelap, 4) penggilingan yang menghasilkan kopi bubuk siap dikonsumsi. Adapun nilai tambah yang tercipta pada setiap tahapan dan total nilai tambah yang tercipta ditunjukkan dalam tabel di bawah.
No. |
Proses 1: Panen | Proses 2: Pengupasan | Proses 3: Sangrai | Proses 4: Penggilingan | ||||
Produk | Nilai (Rp) | Produk | Nilai (Rp) | Produk | Nilai (Rp) | Produk | Nilai (Rp) | |
2kg biji kopi segar | 20.000 | 1,75 kg biji kopi hijau | 30.000 | 1,5 kg kopi biji sudah disangrai | 50.000 | 1,5 kg kopi bubuk | 100.000 | |
Nilai tambah | 20.000 | 10.000 | 20.000 | 50.000 | ||||
Total nilai tambah yang tercipta = 20.000 + 10.000 + 20.000 + 50.000 = 100.000 |
Seperti terlihat dalam tabel di atas, pada proses 1, nilai tambah yang tercipta sebesar Rp20.000 yaitu nilai dari 2 kg biji kopi segar hasil panen. Proses 2 menciptakan nilai tambah sebesar Rp10.000, karena hasil proses 2 yaitu 1,75 kg kopi hijau bernilai Rp30.000. Proses 3 sangrai, menghasilkan 1,5 kg kopi yang siap digiling dengan nilai Rp50.000, berarti terjadi penambahan nilai sebesar Rp20.000 dibandingkan dengan nilai kopi hijau hasil proses 2, dan proses 4 menciptakan nilai tambah sebesar Rp50.000 karena 1,5 kg kopi bubuk bernilai Rp100.000. Total nilai tambah yang tercipta adalah Rp100.000, yang sama dengan nilai produk akhir.
Semakin banyak tahapan proses pengolahan lanjutan suatu produk primer menuju produk siap konsumsi, semakin besar nilai tambah yang tercipta, yang menciptakan lapangan pekerjaan, dan pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu apabila produk-produk yang dihasilkan suatu daerah tidak diolah lebih lanjut, maka yang menikmati nilai tambah yang tercipta pada proses pengolahan lanjutan adalah masyarakat di mana proses pengolahan tersebut dilakukan.
Pada saat ini kelihatannya sangat sedikit pengolahan lanjutan yang dilakukan di Toraja (Tana Toraja dan Toraja Utara). Hasil produksi seperti kopi, sebagian besar dibawa ke luar dalam bentuk produk primer. Dengan demikian nilai tambah yang tercipta, dinikmati masyarakat di mana kegiatan pengolahan lanjutan dilakukan. Akan tetapi untuk Toraja saat ini, selain kopi kelihatannya tidak ada produk lain yang dapat diolah, karena produk-produk yang pada tahun 1960an dipasarkan ke luar Toraja seperti sayuran, buah-buahan, ikan air tawar, ternak, dan beberapa lainnya, sekarang ini hampir semuanya didatangkan dari luar ke Toraja. Kegiatan pengolahan baru akan tumbuh apabila terjadi surplus produksi yang biasa disebut marketable surplus, yang artinya jumlah yang dihasilkan lebih besar dari kebutuhan untuk konsumsi lokal. Hampir dapat dipastikan, kondisi inilah yang merupakan penyebab utama jumlah penduduk miskin di kedua kabupaten Toraja berada jauh di atas tingkat kemiskinan rata-rata provinsi SULSEL. Menurut data BPS Sulawesi Selatan, pada tahun 2021 persentase penduduk miskin di Tana Toraja sebesar 12,27% dan di Toraja Utara 13,59% sedangkan persentase rata-rata penduduk miskin di Sulawesi Selatan sebesar 8,78%. Bila dibandingkan dengan persentase kemiskinan kabupaten lain di Sulawesi Selatan, Tana Toraja menduduki peringkat kelima dan Toraja Utara ketiga tertinggi.
Seperti sudah dijelaskan di atas, kehadiran wirusahawan/pengusaha menggerakkan dan mendorong peningkatan kesejahteraaan masyarakat. Secara umum diyakini bahwa dibutuhkan jumlah pengusaha sebanyak 2% dari jumlah penduduk untuk dapat menggerakkan ekonomi di suatu wilayah secara efektif. Buku Tana Toraja Dalam Angka Tahun 2020 yang diterbitkan BPS Kabupaten Tana Toraja mencatat jumlah perusahaan yang berbadan hukum di Tana Toraja sebanyak 530 unit. Dengan mengasumsikan bahwa semua perusahaan tersebut menciptakan nilai tambah, maka jumlah wirausahawan di Tana Toraja hanya sebesar 0,02% dari jumlah penduduk sebesar 285.867 jiwa. Dengan demikian Tana Toraja masih membutuhkan minimum 5.145 wirausahawan baru untuk dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Tana Toraja secara efektif. Dan bila diasumsikan persentase yang sama untuk Toraja Utara, dengan jumlah penduduk sebesar 261.086 orang, dibutuhkan tambahan pengusaha minimum 4.700. Bersama-sama, kedua kabupaten masih membutuhkan minimum 10.000 pengusaha baru untuk dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Pada tataran nasional, saat ini diperkirakan jumlah pengusaha sudah mencapai 3,1% dari jumlah penduduk, walaupun demikian, rasio tersebut masih jauh di bawah Singapura sebesar 7% dan Malaysia sebesar 5%.
Memupuk Jiwa Entrepreneur
Bagaimana memunculkan entrepreneur atau wirausahawan baru? Adakah yang dapat dilakukan baik pemerintah maupun masyarakat agar suatu saat akan hadir pengusaha-pengusaha baru dalam jumlah yang memadai untuk mendorong pertumbuhan ekonomi? Sebuah studi yang dilakukan Theodor Lucian Vladasel dari Copenhagen Business School sebagai Yale Fox International Fellow 2017-2018 di Universitas Yale, Amerika Serikat, menyimpulkan bahwa latar belakang keluarga dan lingkungan masyarakat berpengaruh terhadap munculnya entrepreneur, tetapi bukan satu-satunya sumber. Seseorang yang lahir dan besar dalam lingkungan wirausaha mempunyai peluang yang lebih besar menjadi seorang entrepreneur dibandingkan dengan mereka yang tidak. Hal ini yang kelihatannya diyakini warga Toraja pada umumnya sehingga ada semacam pendapat umum bahwa orang Toraja tidak mempunyai bakat berwirausaha. Pola pikir seperti ini sesungguhnya sangat keliru, karena apabila orang-orang Toraja selama ini bisa mengukir prestasi di berbagai bidang, mengapa di dunia usaha tidak. Karena istilahnya, tidak membutuhkan “rocket science” dengan otak sekelas Albert Einstain atau Wemher von Braun untuk membangun usaha yang berhasil. Selain itu dalam konteks kehidupan moderen, hanya pengusaha bila menunjukkan gaya hidup super mewah yang tidak menimbulkan pertanyaan, karena hakekat (by definition) kegiatan usaha adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya. Orang-orang muda di kota-kota besar sekarang ini termasuk orang-orang muda Toraja, lebih memilih berkarir di dunia usaha dan tidak sedikit yang sudah berhasil. Beberapa Unicorn Indonesia yaitu perusahaan rintisan dengan nilai kapitalisasi lebih dari 1 milyar dollar AS setara Rp14 triliun diotaki orang-orang muda, bahkan sudah ada yang meningkat menjadi Dekacorn dengan nilai kapitalisasi di atas 10 milyar dollar AS.
Di dalam setiap masyarakat termasuk masyarakat Toraja, selalu saja ada orang yang berbakat wirausaha secara alami, yang apabila dibina, didampingi, dan dibukakan jalan akan menjadi entrepreneur yang berhasil, yang pada akhirnya akan menguntungkan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu perlu ada upaya untuk mencari dan menemukan orang-orang seperti ini, dan selanjutnya memfasilitasi mereka untuk mengembangkan bakat alami mereka. Semakin banyak bakat seperti ini khususnya di kalangan orang muda Toraja ditemukan dan difasilitasi, semakin besar peluang akan semakin banyak wirausahawan baru muncul pada waktu yang akan datang. Para penentu kebijakan mempunyai peran sentral dalam hal ini, termasuk memperluas ketersediaan kesempatan dan menghilangkan hambatan yang merintangi mereka mengembangkan ide-ide bisnis. Kehadiran wirausahawan yang berhasil sebagai “raw model” (idola) akan menjadi penyemangat bagi mereka yang berminat menempuh karir di bidang bisnis. Pengenalan kewirausahaan secara non formal maupun formal di sekolah-sekolah akan mendorong munculnya ketertarikan orang-orang muda termasuk anak-anak pada dunia usaha. Cara lain yang dapat dilakukan adalah pelatihan kewirausahaan dengan berfokus pada penguatan keterampilan (skill) yang diperlukan seorang wirausahawan agar dapat menjalankan wirausaha yang berhasil, seperti kepemimpinan, manajerial, berjaringan, dan lain-lain. Program inkubator bisnis merupakan salah satu pola pembinaan yang efektip bagi para calon wirausahawan.
Inkubator Bisnis
Inkubator Bisnis adalah suatu lembaga yang dibentuk khusus untuk membantu wirausahawan pemula mengatasi berbagai rintangan dalam mengembangkan usaha, seperti kekurangan modal dan tenaga terampil, keterbatasan jaringan, ketiadaan tempat usaha, dan sebagainya. Inkubator Bisnis menyediakan tempat bagi pesertanya untuk menjalankan usaha rintisannya dengan fasilitas pendukung seperti jaringan internet, tenaga-tenaga terampil di berbagai bidang, pelatihan, pendampingan, modal, dan sejumlah fasilitas pendukung lainnya. Dengan demikian biaya operasional perusahaan dapat ditekan dan perhatian sepenuhnya dapat dipusatkan pada pengembangan bisnis.
Secara umum dukungan yang dapat diberikan Inkubator Bisnis antara lain:
- Bantuan untuk kegiatan dasar
- Kegiatan berjaringan
- Bantuan pemasaran
- Jaringan internet
- Bantuan pembukuan/manajemen keuangan
- Akses kredit perbankan
- Keterampilan promosi
- Akses ke mitra strategis
- Akses ke investor atau modal ventura
- Pelatihan manajemen bisnis yang kompehensip
- Pendampigan/Mentor bisnis
- Pemahaman dan ketaatan kepada berbagai peraturan/regulasi bisnis
- Etika bisnis
- Pemahaman tentang hak atas kekayaan intelektual (property rights).
Setelah dua tahun minimal mengikuti pembinaan di Inkubator, peserta diharapkan sudah dapat meninggalkan Inkubator karena sudah mempunyai kemampuan menjalankan usahanya secara mandiri. Pada saat ini sudah ada beberapa Inkubator Bisnis di Indonesia yang telah mencetak wirausahawan baru, antara lain Indigo yang didirikan PT Telkom di Bandung, Mandiri Inkubator Bisnis oleh PT Bank Mandiri, dan Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan oleh ITB Bandung, yang dapat dijadikan referensi.
Mudah-udahan dalam waktu yang tidak terlalu lama akan muncul wirausahawan baru di Toraja yang akan bergerak di berbagai bidang, termasuk produksi berbagai komoditas pertanian yang berskala ekonomi. Karena seperti sudah disebutkan di atas, hanya dengan ketersediaan produk dalam skala ekonomi dan berkesinambungan, kegiatan pengolahan lanjutan akan muncul dan selanjutnya akan menghadirkan kesejahteraan. Semoga!
[1] Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Unversitas Atma Jaya Makassar.
Deputi Utusan Khusus Presiden untuk Penanggulangan Kemiskinan 2011-2014.
Komentar