Oleh: Paulus Tasik Galle’
AWAL bulan Mei 2023, beberapa orang berkumpul dan berdiskusi sekedar untuk bersama-sama menyelami dan melakukan brain storming, saling membagi informasi dan memperkaya refleksi satu sama lain tentang berbagai isu yang sedang dan mungkin masih akan terus terjadi di tengah keseharian hidup nyata masyarakat Toraja saat ini, baik yang tinggal di Toraja maupun yang berada di luar Toraja. Pertemuan ini dihadiri oleh seorang pemerhati sekaligus tokoh budaya Toraja dan anggota Lembaga Adat Toraja, Sismay Eliata Tulungallo. Pertemuan santai dikoordinir oleh Herman Opy Sanda dan turut hadir Matius Salempang, Tarsis Koadrat, Pdt. Adrial Lintin, Lusi Mangiwa Bulo, Milki Sidik, dan Penulis.
Perbincangan dimulai oleh Opy Sanda bahwa pertemuan ini hanyalah ingin melanjutkan apa yang sudah pernah dibicarakan yang dinamainya sebagai sebuah “kegelisahan” dengan beberapa orang di kampung Toraja tentang kondisi dan sejumlah isu sosial yang sekarang ini terjadi dan hadir mewarnai hidup keseharian masyarakat Toraja yang terus “berubah”, dan berharap bahwa “kegelisahan” ini sungguh dapat direspons dengan serius dan lebih strategis dengan memperkuat pemikiran untuk mendorong sejumlah langkah atau kebijakan yang konkrit khususnya persoalan “perubahan” dalam tata budaya masyarakat Toraja saat ini. Lebih lanjut, Opy Sanda menekankan dan mengharapkan bahwa hasil dari pemikiran-pemikiran bersama yang diharapkan berasal dari semua stakeholder dapat dituliskan dalam bentuk tulisan khususnya berupa buku agar dapat dijadikan sumber dan pegangan bersama dalam merawat dan mengembangkan budaya Toraja selanjutnya. Tanpa dasar dan pegangan bersama tersebut, proses penafsiran dan atau interpretasi “bebas” terhadap budaya oleh setiap orang dan “pelaku” budaya sendiri baik pribadi maupun kelompok tidak bisa dihindari yang tentu akan membawa konsekwensi terjadinya “bias” dan atau bahkan “kekaburan” filosofi dan nilai asali dari budaya Toraja yang bernilai tinggi sebagai warisan dan yang akan terus diwariskan kepada generasi berikutnya.
Matius Salempang memberi perhatian dengan contoh persoalan kepemilikan “tanah” Tongkonan yang dalam perspektif budaya Toraja sudah meninggalkan sejumlah diskusi budaya bahwa sudah terjadi kasus perubahan kepemilikan dari kepemilikan bersama menjadi kepemilikan pribadi dan bahkan sudah terjadi kasus penjualan tanah-tanah Tongkonan yang akhirnya menimbulkan dan meninggalkan perselisihan dan sumber konflik dalam rumpun keluarga satu Tongkonan: perlu kiranya menempatkan kembali pemahaman bersama tentang apa arti dan makna tanah dan tongkonan dan seberapa jauh Tongkonan masih berperan dan berfungsi sebagai simbol kesatuan rumpun rara buku. Hal lain terkait soal tanah, juga penjualan tanah khususnya pada tempat-tempat strategis, misalnya yang dilalui oleh jalan umum sudah menjadi gejala yang menggelisahkan karena kepemilikan tanah bukan lagi oleh rumpun rara buku tetapi sudah dimiliki oleh yang lain untuk kepentingannya. Ada kekhawatiran dan kegelisahan bahwa bila hal ini dibiarkan tanpa ada intervensi misalnya berupa aturan/regulasi (Perda) bisa diprediksi bahwa lambat laun kepemilikan tanah akan menjadi milik orang lain, akan terjadi perpindahan kepemilikan yang tentu akan menyulitkan generasi berikutnya dan masa depan Toraja sendiri.
Karenanya muncul pertanyaan, mungkinkah hal ini dapat direspons dengan serius untuk melindungi kepemilikan tanah-tanah di Toraja dengan sebuah kebijakan, sekaligus menyelamatkan nilai kebersamaan sesuai dengan filosofi Tongkonan sebagai lambang pemersatu rumpun rara buku?.
Tarsis Kodrat prihatin terkait “generasi muda” Toraja: peran dan fungsinya dan bagaimana mereka ditempatkan untuk mengambil bagian dalam proses penerima dan pelanjut “warisan budaya” Toraja seterusnya.
Selanjutnya, hal yang menarik dalam diskudi ini adalah tentang adanya proses “perebutan perjumpaan” pada podium Toraja saat ini bahwa nampak adanya perebutan pengaruh yang mengarah pada “ketegangan” yang tidak nampak tetapi dirasakan yang terus menguat dalam berbagai artikulasi, model dan bentuk/wujud (penggunaan kekuasaan/wewenang/peran dan fungsi) dari tiga komunitas (ditambah dengan hadirnya komunitas “kapital” sebagai komunitas baru), yakni komunitas masyarakat adat, komunitas masyarakat agama (Gereja: Gereja Toraja, Katolik, denominasi Gereja lainnya dan Islam), komunitas Pemerintah (Eksekutif, Legislatif, Yudikatif). Dalam komunitas-komunitas ini, masyarakat Toraja terus mengindentifikasikan dan memainkan dirinya dengan caranya masing-masing. Ketiga komunitas itu memiliki sumber “power” yang berbeda untuk memainkan peran dan fungsinya dalam pergaualan masyarakat Toraja.
Komunitas masyarakat adat, sebelum kehadiran komunitas lainnya sudah “sempurna” di dalam memainkan peran dan fungsinya untuk merawat budaya dengan sumber spiritnya adalah agama Aluk Todolo. Bentuk dan wujud budaya yang dihayati dan dihidupi bersumber dari kepercayaan dan keyakinan dalam Aluk Todolo (Aluk Sandapitunna oleh Tangdilino’ dan Aluk Sandasaratu’ oleh Puang Tamborolangi’). Semua tata nilai hidup keseharian dikonstruksi dari dasarnya yaitu Aluk. Komunitas “baru” datang kemudian dan masuk dalam komunitas masyarakat Adat ini adalah komunitas masyarakat Agama (Kekristenan): Zending (110 tahun), Misionaris (85 tahun) yang datang membaptis masyarakat yang masih “berbungkus” budaya dan Adat Toraja. Semakin disadari bahwa Alkitab (dan Al Qur’an) dan tradisi agama juga bersemai dan tumbuh dalam sebuah “budaya”, sehingga proses penginjilan dan dakwah tidak dapat dilepaskan dari usaha bagaimana memperjumpakan budaya dan tradisi “baru” itu dengan budaya Toraja. Muncul pertanyaan misalnya seberapa dampak ajaran yang menurunkan tata nilai kekristenan (keislaman) terhadap kebudayaan dan subyeknya yakni manusia “masyarakat” Toraja saat ini? “Manusia Toraja yang berkarakter”.
Sejumlah refleksi dan studi yang sudah dan sedang diusahakan di lingkungan Gereja terkait dampak “nilai-nilai” kekristenan dalam mengubah manusia Toraja saat ini dan masa depannya belumlah selesai, sebuah pergumulan yang masih terus terjadi, seorang Toraja yang Kristiani, seorang Kristen yang adalah seorang Toraja. Di dalam proses perjumpaan ini, ketegangan dan bahkan benturan ikut mewarnainya, dan itu terjadi secara riil sekalipun sering tersembunyi di dalam diri seorang Toraja saat ini ketika melakukan adat rambu tuka’ dan rambu solo’. Komunitas yang ketiga adalah “pemerintah” sebagai temuan sistem hidup bersama (dalam perspektif bangsa dan negara) juga ikut serta melakukan perubahan dalam tata budaya Toraja lewat peran dan fungsi wewenang yang kekuasaanya diperoleh dari sistem “kenegaraan” yang dianut; bahwa peran dan fungsi pemerintahan juga ikut menjadi “pemain” di dalam perubahan budaya Toraja saat ini dan ke masa depannya lewat berbagai kebijakan dan programnya; sehingga pertanyaan refleksif yang muncul seberapa besar komitmen kepemerintahan Tana Toraja dan Toraja Utara dalam merawat dan mengembangkan nilai-nilai budaya Toraja dalam sistem hidup bersama lewat berbagai kebijakan dan program-programnya. Komunitas “lain” yang muncul adalah komunitas kapital/finansial yang juga ikut melakukan perubahan budaya dalam kehidupan masyarakat Toraja saat ini.
Dalam perbincangan ini semakin disadari bahwa keharmonisan dalam kemitraan kerja bersama “Tallu Batu Lalikan”: masyarakat Adat, masyarakat Agama, dan Pemerintah (dan masyarakat “Kapital”) akan ikut berperan besar dalam menentukan perawatan dan pengembangan budaya Toraja dengan berbagai “perubahan” yang terus terjadi. Semakin diperlukan berbagai kebijakan dan panduan bersama yang dihasilkan dari “duduk bersama” dan koordinasi Tallu Batu Lalikan agar Toraya dengan isi budayanya dapat diwariskan kepada generasi Toraja berikutnya. Ada sejumlah anak generasi Toraja yang lahir di perantauan yang sudah mulai “putus” dengan jati dirinya sebagai orang Toraja. Fenomena “seremonial” dalam banyak perayaan kehidupan entah yang dilakukan oleh masyarakat Adat, masyarakat Agama, dan Pemerintah sering hanya berhenti pada sisi “seremonialnya” tanpa proses pendalaman lebih jauh terhadap tata nilai yang menggerakkannya. Koordinasi dan harmonisasi kerja sama antara semua stakeholder semakin sangat dibutuhkan dalam waktu yang panjang untuk menjawab sejumlah kegelisahan yang terus menemani perjalanan hidup “Manusia Toraja” saat ini dan masa depannya.
Mengulang sejumlah pokok penting dari “petisi” yang pernah disampaikan oleh Bapak Sismay Eliata Tulungallo tahun 2017 kepada pemerintah ketika masih menjadi Ketua Harian Lembaga Adat Toraja (LAT) agar ditegakkan kembali tatanan nilai-nilai adat dan kebudayaan suku bangsa Toraja (Petisi, 1 Agustus 2017).
Sejumlah hal yang menjadi kegelisahan dalam petisi ini diungkapkan diantaranya semakin menurun dan menipisnya kesantunan berbudaya yang berefek bagi timbulnya keresahan dan pemicu konflik sosil-budaya baik di media maupun dalam kehidupan keseharian; munculnya sejumlah kasus bunuh diri, kasus perzinahan yang terjadi di antar anggota keluarga dekat sendiri, pencabulan anak di bawah umur, pembunuhan, peredaran narkoba. Dalam perspektif relasi budaya dan “agama” disinyalir terjadi “sinkritisme”, sudah terjadi kerusakan alam yang mengakibatkan sejumlah bencana, banjir dan tanah longsor. Keprihatian petisi didasarkan pada cerita Londong di Rura yang direfleksikan bahwa kelanjutan peradaban Toraja akan ditentukan oleh moralitas dan akhlak sebagai wujud ketaatan dan kesetiaan menjalankan aturan adat budaya yang berlaku. Menyelami dan merespons berbagai “perubahan” ini, Petisi mengajak semua stakeholder untuk terlibat aktif dengan horison yang sama menyelamatkan dan mengembangkan peradaban Toraja yang bernilai mahal dan agung dengan pendasaran yang kuat beresensikan nilai-nilai folosofi budaya luhur Toraja sendiri.
Filsuf Yunani, Herakleitos dari Efesus (540-480 SM) pernah merumuskan pikirannya dengan mengatakan bahwa “tidak ada sesuatu yang yang tidak berubah (abadi/kekal) kecuali “perubahan” itu sendiri”, “Nothing endures but change”, segala sesuatu mengalami perubahan kecuali “perubahan” itu sendiri. “Perubahan” itu esensinya adalah sebuah keniscayaan karena proses perubahan itu terjadi dan selalu dalam proses “menjadi” sebagaimana terungkap dalam sebuah pepatah bahasa Latin “Tempora Mutantur Etnos Mutamur in Illis” yang berarti bahwa kodrat zaman itu berubah, demikian pula kita ikut bertransformasi. Konsekwensinya adalah bahwa setiap orang harus mampu menyadari, menerima, bersahabat, dan beradaptasi dengan adanya perubahan agar mampu bertahan sekaligus pada saat yang sama memiliki ruang untuk dapat ikut memberinya nilai pada “ke-sedang-an” akan terjadinya perubahan itu. (*)
*Dr. Paulus Tasik Galle’ — warga Toraja, tinggal di Jakarta.
Komentar